berpotensiusaha. Sistem ini dikendalikan oleh BAPPEDA sebagai penyedia informasi tentang pemetaan wilayah potensi di Kabupaten Malang. Informasi tersebut dapat diwujudkan dengan memanfaatkan teknologi Geographichs Information Sistem (GIS) sebagai teknik ilmu geografis berbasis komputer yang berkemampuan untuk menyimpan dan
Sistem produksi usaha sistem teknik Disusun oleh Salsa fitria Desi amelia Nur khodijah Revi anggun lestari Kelompok 3 S MA NEGERI 2 NATAR KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan ke-hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karenaatas rahmat dan hidayah-Nya. Adapun tujuan penulisan makalah iniadalah untuk memberikan wawasan mengenai mata pelajaran Prakaryadan kewirausahaan. Pada tugas makalah kali ini kami akan membahas ihwal tentang sistem produksi usaha sistem teknik. dengan disertai penjelasan dan juga contoh contohnya.. kami sadar makalah ini terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, kami mengharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat membangun dari berbagai pihak, agar bisa menjadi lebih baik lagi. Kami berharap semoga makalah ini dapat memberi informasi yang berguna bagi pembacanya, terutama siswa-siswi SMAN 2 NATAR agar bisa mengetahui sistem teknik dan berwirausaha. DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN latar belakang....................................................................................................... 01 Rumusan masalah.................................................................................................. 02 Tujuan................................................................................................................... 02 BAB Aneka produk usaha sistem teknik ......................................................................... 03 manfaat produk usaha sistem teknik....................................................................... 04 potensi usaha sistem teknik didaerah...................................................................... 04 Perencanaan produksi sprinker..................................................................................... 05 Alat dan bahan sprinker..................................................,...............,.........,................................ 05 proses produksi sprinker....................................................,.......................................... pengemasan produks................ BAB lllKESIMPULAN DAN Kesimpulan............................................................................................................. 06 Saran...................................................................................................................... 06 DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................. 07
Sumberdaya yang meliputi sumber daya manusia, sumber daya alam dan sumber daya budaya sebagai potensi usaha sistem teknik tersebar di daerah kepulauan Indonesia. Bahan baku yang disediakan alam dan potensi jumlah penduduk serta keragaman budaya dari berbagai propinsi di Indonesia menjadi bagian yang potensial dalam menjalankan usaha sistem teknik.
Sistem Dari Sebuah Produksi Usaha Untuk Sistem Teknik 1. Aneka Produk Usaha Sistem Teknik Sistem Dari Sebuah Produksi Usaha Untuk Sistem Teknik Produk usaha sistem teknik dirancang dan dikembangkan berdasarkan pada aspek-aspek lingkungan, sosial, budaya, ekonomi, dan etika masyarakat pengguna. Hemat sumber daya, minim dampak polutif, mudah penggunaan dan perawatannya merupakan bagian yang menjadi perhatian. Karya rekayasa inovatif dibuat untuk mempermudah dan meningkatkan efisiensi dan efektifitas dalam pembuatan produk, di antaranya berupa produk pengolahan hasil pertanian, perkebunan, perikanan, limbah perkebunan yang semua itu merupakan bagian solusi dalam berproduksi. Beberapa contoh aneka produk peralatan sistem teknik antara lain a. Alat pencetak arang briket Alat pencetak arang briket adalah kempa yang berfungsi mencetak tepung arang dengan ukuran mesh tertentu yang telah dicampur dengan perekat kanji, sehingga menjadi briket arang dengan ukuran dan bentuk tertentu seperti kubus, bulat tabung, dan atau bulat pepat. Sistem Dari Sebuah Produksi Usaha Untuk Sistem Teknik Tekanan yang dihasilkan oleh kempa, selain manual dapat juga berasal dari hidraulik, maupun tekanan mekanik menggunakan ulir. Gambar pencetak briket secara manual. b. Alat pengering hasil pertanian Sistem Dari Sebuah Produksi Usaha Untuk Sistem Teknik Alat pengering hasil pertanian, menggunakan bahan seng yang diberi warna hitam dengan tujuan untuk menyerap panas, sinar matahari diserap oleh benda seng berwarna gelap dan diteruskan kedalam ruangan oven. Alat ini dibuat untuk mengurangi kadar air hasil pertanian dan baki tray yang berfungsi sebagai wadah bahan yang dikeringkan di dalam ruang pengering pada proses penjemuran secara alami sehingga mengenai permukaan bahan yang akan dikeringkan. d. Alat pengambilan zat warna alam indigo Proses pengambilan zat warna alam indigo pada dasarnya adalah bagaimana melakukan aerasi pada cairan hasil rendaman daun dari tanaman Indigofera tinctoria. L. Pada Gambar Alat untuk pengambilan Zat Warna Alam Indigo melalui sirkulasi cairan dengan menggunakan pompa, memungkinkan terjadinya proses aerasi. Pada saat pompa bekerja cairan pada tangki A diisikan ke dalam tangki B melalui spraiyer S sampai volume tertentu. Proses aerasi berlangsung pada saat air dispraykan melalui sprayer S. Cairan di tamping pada tangki C jika proses aerasi selesai. 2. Manfaat Produk Usaha Sistem Teknik Manfaat karya rekayasa produk peralatan sistem teknik a. Keberadaan karya produk usaha sistem teknik memberikan manfaat bagi kesejahteraan masyarakat yang menggunakannya b. Solusi bagi peningkatan produktifitas dan efektifitas dalam menjalankan produksi usaha rumahan home industry c. Memberikan kemudahan, meningkatkan kualitas dan jumlah dalam berproduksi d. Memacu kreativitas dan inovatif pembuatnya untuk terus berkarya mencapai optimal e. Terciptanya lapangan pekerjaan untuk mewujudkan karya inovasi. 3. Potensi Usaha Sistem Teknik di Daerah Sumber daya yang meliputi sumber daya manusia, sumber daya alam dan sumber daya budaya sebagai potensi usaha sistem teknik tersebar di daerah kepulauan Indonesia. Bahan baku yang disediakan alam dan potensi jumlah penduduk serta keragaman budaya dari berbagai propinsi di Indonesia menjadi bagian yang potensial dalam menjalankan usaha sistem teknik. Produk yang dibuat dapat mendatangkan nilai tambah dan meningkatkan kesejahteraan kehidupan masyarakat di daerah. Usaha peralatan sistem teknik dikembangkan untuk mewujudkan produk yang memiliki nilai ekonomis. Budaya Indonesia merupakan sumber daya dan kekayaan yang perlu terus dikembangkan dan menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan di dalam kehidupan. Kita sering melihat di daerah-daerah banyak aktifitas penduduk melakukan kegiatan yang sifatnya turun temurun dalam memenuhi kebutuhan. Batik, tenun adalah produk yang dihasilkan oleh aktifitas masyarakat di sekitar kita. Kita mengenal batik, tenun sebagai sumber daya yang diakui dunia sebagai kekayaan budaya Indonesia. Pengembangan budaya melalui potensi yang tersedia dapat dilakukan dengan pola tekno-ekologis sebagai salah satu bentuk sistem dengan menggabungkan antara teknologi dengan lingkungan yang tetap dijaga keseimbangannya. Proses produksi pembuatan batik dan tenun, salah satunya adalah pewarnaan. Pewarnaan secara alami pada kain batik dan tenun sangat di sambut baik oleh masyarakat dunia dan memiliki nilai jual tinggi, karena merupakan produk yang ramah lingkungan dan sudah menjadi bagian dari gaya hidup life style dalam kehidupan di masa sekarang untuk ramah pada lingkungan. 4. Alat dan Bahan yang dibutuhkan a. Pembuatan Spray Aerator dan Zat warna alam indigo 1 Pembuatan tangki, dapat disubtitusi dengan drum bekas 2 Sprayer, dapat dimodifikasi dengan paralon yang diberi lubang banyak 3 Pipa paralon, untuk sirkulasi larutan yang dipompa. 4 Pompa air, saklar dan kabel, dapat diperoleh di toko material 5 Rangka penopang tangki 6 Tanaman Indigofera tinctoria 7 Kapur CaO, larutan CaO kapur tohor 5. Proses Produksi Tom Spray Aerator untuk Zat Warna Alam Indigo Proses produksi dalam pembuatan zat warna alam yang dikembangkan dalam hal ini dibagi menjadi dua bagian yaitu a. Pembuatan Alat Spray Aerator b. Pembuatan zat warna alam indigo biru Spray aerator sebagai alat yang digunakan untuk pengambilan zat warna alam indigo biru yang biasa digunakan untuk pewarnaan batik, tenun, denim. Bahan baku zat warna alam ini berupa daun nila yang diolah melalui proses perendaman 24 jam, proses aerasi dan proses pengendapan. Hasil akhir berupa produk pasta/powder indigo biru yang mempunyai nilai jual cukup tinggi. Peralatan dan Bahan Pembuatan Spray Aerator Peralatan yang digunakan dalam pembuatan alat spray aerator digunakan alatalat di antaranya mesin las, bor, gerinda, dan tool kit Spray aerator dapat dibagi menjadi empat bagian yaitu penyediaan sprayer, pompa, pemipaan, dan tangki penampung. Prisip dasar dari proses ini adalah aerasi yaitu mengkontakkan cairan dengan udara. Sprayer bisa disubtitusi/ diganti dengan pipa paralon yang diberi beberapa lubang. Penyediaan reservoir/ tangki penampung dapat disubtitusi dengan menggunakan drum bekas minyak. Penggunaan Spray Aerator dapat mempermudah dalam proses produksi pengambilan zat warna alam indigo. Perawatan alat ini meliputi 1 Perawatan alat terutama bagian sprayer, yaitu membersihkan bagian lubang sprayer agar tidak tersumbat dari kapur yang digunakan. Pastikan dalam kondisi bersih setelah menggunakannya. 2 Hindari tergenangnya air pada spray aerator pada bagian tangki reservoir saat penyimpanan agar tidak terjadi korosi pada peralatan. 3 Lakukan pemeliharaan maintenance secara berkala pada pompa air, hindari terjadinya hubung singkat karena isolasi kabel kurang baik. 4 Perhatikan penggunaan sumber listrik disesuaikan dengan spesifikasi pompa air yang digunakan. 6. Pengemasan Produk Pengemasan produk pralatan sistem teknik dimaksudkan untuk mempermudah pekerja dalam menjalankan suatu pekerjaan untuk mencapai efektivitas dan efisiensi dalam pembutan produksi. Perkembangan teknologi dalam pengemasan suatu produk berkembang dengan cepat. Casing atau selubung didesain sedemikian rupa dengan mempertimbangkan estetika dan konsep yang ingin ditampilkan sesuai dengan pengguna atau calon pembeli. Pengemasan untuk pelindung fungsi distribusi dan fungsi identitas sebagai kemasan produk didesain agar produk dapat terlindung dari benturan dan menarik. Adapun fungsi kemasan produk antara lain a. Mempertahankan mutu b. Memperpanjang masa simpan c. Mempermudah penyimpanan dan pemasaran/transportasi d. Menambah daya tarik bagi konsumen memberi informasi dan sarana promosi Agar manfaat tersebut di atas dapat dicapai, maka hal-hal berikut harus diperhatikan a. Dibuat semenarik mungkin, punya ciri khas b. Memuat informasi yang jelas & jujur c. Menarik desain, warna, bentuk, dengan komposisi yang imbang d. Ukuran & material bahan sesuai kebutuhan e. Bahan terbuat dari material yang tahan terhadap perlakuan pada saat pemindahan transport. f. Volume kemasan, menggunakan ukuran yang umum untuk produk-produk tertentu, misalnya 250 gr, 500 gr atau 1000 gr. Label adalah informasi yang dibuat pada kemasan biasanya berisikan tentang a. Informasi produk yang sebenarnya b. Foto atau gambar produk c. Logo perusahaan d. Alamat produsen e. Bobot produk Informasi tentang masa produksi dan atau masa kadaluwarsa dan hal-hal lain yang istimewa pada produk yang dihasilkan, menjadi bagian informasi pada konsumen. Baca Juga Perencanaan Usaha Dalam Produk Untuk Sistem Teknik Wirausaha Dari Sebuah Produk Rekayasa Untuk Sistem Teknik Laporan Kegiatan Usaha Kerajinan Dari Bahan Limbah Berbentuk Bangun Datar Demikian Artikel Sistem Dari Sebuah Produksi Usaha Untuk Sistem Teknik Yang Saya Buat Semoga Bermanfaat Ya Mbloo Artikel Terkait Mengetahui Jenis Dari Olahan Pangan Setegah Jadi Produk Dari Sebuah Kerajinan Fungsi Guna Pakai Proses Produksi Ikan Konsumsi Berdasarkan Daya Dukung Wilayah Alat dan Bahan Dan Proses Dalam Memproduksi Kerajinan Dari Limbah Berbentuk Bangun Datar Produk Dari Sebuah Kesehatan Khas Daerah
Prakaryadan Kewirausahaan 93 3. Potensi Usaha Sistem Teknik di Daerah Sumber daya yang meliputi sumber daya manusia, sumber daya alam dan sumber daya budaya sebagai potensi usaha sistem teknik tersebar di daerah kepulauan Indonesia. Bahan baku yang disediakan alam dan potensi jumlah penduduk serta keragaman budaya dari berbagai propinsi di Indonesia menjadi bagian yang potensial dalam JAKARTA - Kemajuan digital di Indonesia yang terjadi selama satu dekade terakhir telah membuka banyak pintu kesempatan di berbagai bidang. Dalam satu dekade terakhir mulai bermunculan sejumlah sosok talenta daerah yang sukses. Adi Arriansyah, CEO dan founder dari Sagara menilai, kehadiran talenta-talenta daerah di Indonesia yang berhasil meraih prestasi dalam skala tinggi di era digital. Ini membuktikan bahwa teknologi betul-betul membuka pintu peluang bagi siapa saja. Apalagi, menurutnya, talenta-talenta yang berasal dari daerah biasanya memiliki tingkat adaptabilitas dan daya juang yang tinggi. "Kedua hal inilah yang ikut menjadi kunci menentukan kesuksesan usaha mereka,ā€ kata dia, Kamis 23/1. Sagara diperkuat oleh banyak talenta daerah yang telah mencatatkan segudang prestasi hingga di kancah internasional. Misalnya, Adi yang berasal dari Ungaran, kabupaten Semarang, merupakan jebolan dari Founder Institute, sebuah program pelatihan entrepreneur asal Silicon Valley. Baru-baru ini, ia berhasil menembus program prestisius Executive Education di Harvard Business School. Ada pula Angga Fauzan, pria asal Boyolali yang sempat viral berkat prestasinya yang mendunia. Pria lulusan S2 dari Edinburgh University ini memegang posisi sebagai Chief Marketing Officer di Sagara. ā€œSebenarnya, saya sendiri sempat gagal beberapa kali masuk ke Harvard. Di zaman sekarang, siapapun bisa mendaftar ke Harvard, tapi tidak semua orang akan pantang menyerah hingga rela mendaftar berkali-kali,ā€ jelas Adi. Didirikan pada tahun 2014, Sagara pun konsisten terus menjadi rumah untuk talenta daerah. Saat ini, sekitar 80 persen tenaga kerja Sagara berasal dari daerah. Mereka beragam asalnya, ada Galih Suryo Priatomo dari desa Gunungpati, Semarang, Nafa Ananda Lutfia dari kota Purwokerto, Novelasari Nadia Putri dari kota Batu, hingga Ade Saepul Mugni dari daerah Rancaekek, kabupaten Sumedang. "Mereka punya karakteristik yang mirip, yaitu punya tekad yang kuat, siap kerja keras, dan humble,ā€ jelas Adi. Eka Pratamandhira merupakan Senior Developer Sagara yang berasal dari Ternate, Maluku Utara. Ia mengaku bahwa salah satu pembelajaran terpenting dalam karirnya ialah dengan menyelesaikan masalah klien dalam skala yang lebih besar. "Di Sagara, kita terus menguji kemampuan dengan menyelesaikan berbagai masalah teknologi untuk sejumlah klien papan atas, ya contohnya seperti Qatar National Bank dan Boston Consulting Group,ā€ jelas Eka. Selain itu, Eka juga menjelaskan pentingnya membangun mindset yang tepat agar terus bisa berkarya. ā€œYa namanya dari daerah, kita di awal kurang yakin sebenarnya apakah bisa bersaing dengan talenta di level internasional. Perlahan saya melihat dengan mata kepala saya sendiri bahwa ternyata hal itu mungkin untuk dilakukan,ā€ ujar Eka. Kini tim Sagara telah menangani berbagai klien besar, mulai dari kementrian RI, startup, hingga korporat total, Sagara telah mengembangkan dan meluncurkan lebih dari 100 aplikasi website dan lebih dari 50 aplikasi mobile. sumber AntaraBACA JUGA Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Klik di Sini prakaryadan kewirausahaan kls 11 semester 1potensi usaha sistem teknik di daerah

0. Votbgsa Rsjnj Pastbk Tbegae da Djbrjn Puklbr djyj yjgc kbhaputa suklbr djyj kjgusaj, suklbr djyj jhjk djg suklbr djyj ludjyj sbljcja potbgsa usjnj sastbk tbegae tbrsbljr da djbrjn ebpuhjujg Agdogbsaj. Ljnjg ljeu yjgc dasbdajejg jhjk djg potbgsa mukhjn pbgdudue sbrtj ebrjcjkjg ludjyj djra lbrljcja propagsa da Agdogbsaj kbgmjda ljcajg yjgc potbgsajh djhjk kbgmjhjgejg usjnj sastbk tbegae. Vrodue yjgc dalujt djpjt kbgdjtjgcejg gahja tjkljn djg kbgagcejtejg ebsbmjntbrjjg ebnadupjg kjsyjrjejt da djbrjn. Rsjnj pbrjhjtjg sastbk tbegae daebkljgcejg ugtue kbwumudejg produe yjgc kbkahaea gahja beogokas. Ludjyj Agdogbsaj kbrupjejg suklbr djyj djg ebejyjjg yjgc pbrhu tbrus daebkljgcejgdjg kbgmjda ljcajg yjgc tadje lasj dapasjnejg da djhjk ebnadupjg. Eatj sbragc kbhanjt dadjbrjn-djbrjn ljgyje jetaiatjs pbgdudue kbhjeuejg ebcajtjg yjgc saijtgyj turug tbkurug djhjk kbkbguna eblutunjg. Ljtae, tbgug jdjhjn produe yjgc danjsahejg ohbn jetaiatjskjsyjrjejt da sbeatjr eatj. Eatj kbgcbgjh ljtae, tbgug sbljcja suklbr djyj yjgc dajeua dugajsbljcja ebejyjjg ludjyj Agdogbsaj. Vbgcbkljgcjg ludjyj kbhjhua potbgsa yjgc tbrsbdaj djpjt dahjeuejg dbgcjg pohj tbego-beohocas sbljcja sjhjn sjtu lbgtue sastbk dbgcjg kbgccjlugcejg jgtjrj tbegohoca dbgcjg hagceugcjg yjgc tbtjp damjcj ebsbakljgcjggyj . Vohj agtbcrjsa tbego-beohocas sjhjn sjtu `ogtongyj sbpbrta pjdj Cjkljr <.1 dakjesudejg ljnwj produe yjgc danjsahejg lbrupj zjt wjrgj jhjka kbrupjejg produe yjgc rjkjnhagceugcjg. Vbgagcejtjg bibetavatjs djhjk pbgccugjjg pbrjhjtjg sastbk tbegae yjgc dalujt dbgcjg tbtjp kbgmjcj ebhbstjrajg hagceugcjg, hblan produetai, biasabg, djg lbreujhatjs. Vbgccugjjg zjt wjrgj sagtbtas yjgc lbrhblanjg djpjt kbkljnjyjejg hagceugcjg djgebsbnjtjg euhat pbgccugjgyj. Vrosbs produesa pbklujtjg ljtae djg tbgug, sjhjn sjtugyj jdjhjn pbwjrgjjg. Vbwjrgjjg sb`jrj jhjka pjdj ejag ljtae djg tbgug sjgcjt da sjklut ljae ohbn kjsyjrjejt dugaj djg kbkahaea gahja mujh tagcca, ejrbgj kbrupjejg produe yjgc rjkjn hagceugcjg djg sudjn kbgmjda ljcajg djra cjyj nadup haib styhb djhjk ebnadupjg da kjsj sbejrjgc ugtue rjkjn pjdj zjt wjrgj jhjk, djhjk njh aga wjrgj laru yjgc dajklah djra tjgjkjg gahj sbpbrta Cjkljr <.1 kbkahaea ebenususjg tbrsbgdara. Gjkj ukuk djcjgc gahj djg mbgas tjgjkjg aga sbragc dasblut dbgcjg agdaco/agdajg agdaco Agccras, tok/tjrukAgdogbsaj, tjcugcā€tjcugc/tjaok/tjaugc Iahapagj, erjjk/gj-eno Tnjahjgd, `njk Yabtgjk, tjrok KjhjysajVrosbs pbgcjklahjg zjt wjrgj jhjk agdaco pjdj agdustra rukjn kjsan kbgccugjejg prosbs yjgc hblan dokagjg kbgccugjejg tbgjcj kjgusaj yjatu pjdj prosbs eblur jbrjsa , djg ugtue kbkpbrkudjn prosbs jbrjsa djpjt dacugjejg jhjt eblur sprjyjbrjtor. 4. Vbrbg`jgjjg Vroduesa Tok Pprjy Jbrjtor ugtue ]jt Sjrgj Jhjk Agdaco

Sumberdaya pada usaha produk rekayasa sistem teknik, meliputi sebagaimana di bawah ini, kecuali. answer choices . man. money. material. mechine. making. Tags: Potensi usaha sistem teknik di daerah dapat dikembangkan dengan menggunakan pola tecno-ekologis yaitu . answer choices

Sumber daya yang meliputi sumber daya manusia, sumber daya alam dan sumber daya budaya sebagai potensi usaha sistem teknik tersebar di daerah kepulauan Indonesia. Bahan baku yang disediakan alam dan potensi jumlah penduduk serta keragaman budaya dari berbagai propinsi di Indonesia menjadi bagian yang potensial dalam menjalankan usaha sistem teknik. Produk yang dibuat dapat mendatangkan nilai tambah dan meningkatkan kesejahteraan kehidupan masyarakat di daerah. Usaha peralatan sistem teknik dikembangkan untuk mewujudkan produk yang memiliki nilai ekonomis. Budaya Indonesia merupakan sumber daya dan kekayaan yang perlu terus dikembangkan dan menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan di dalam kehidupan. Kita sering melihat di daerah-daerah banyak aktifitas penduduk melakukan kegiatan yang sifatnya turun temurun dalam memenuhi kebutuhan. Batik, tenun adalah produk yang dihasilkan oleh aktifitas masyarakat di sekitar kita. Kita mengenal batik, tenun sebagai sumber daya yang diakui dunia sebagai kekayaan budaya Indonesia. Pengembangan budaya melalui potensi yang tersedia dapat dilakukan dengan pola tekno-ekologis sebagai salah satu bentuk sistem dengan menggabungkan antara teknologi dengan lingkungan yang tetap dijaga keseimbangannya . Pola integrasi tekno-ekologis salah satu contohnya seperti pada Gambar di bawah Pola integrasi tekno-ekologis pada pembuatan zat warna alam indigo Produk yang dihasilkan berupa zat warna alami merupakan produk yang ramah lingkungan. Peningkatan efektivitas dalam penggunaan peralatan sistem teknik yang dibuat dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan, lebih produktif, efisien, dan berkualitas. Penggunaan zat warna sintetis yang berlebihan dapat membahayakan lingkungan dan kesehatan kulit penggunanya Proses produksi pembuatan batik dan tenun, salah satunya adalah pewarnaan. Pewarnaan secara alami pada kain batik dan tenun sangat di sambut baik oleh masyarakat dunia dan memiliki nilai jual tinggi, karena merupakan produk yang ramah lingkungan dan sudah menjadi bagian dari gaya hidup life style dalam kehidupan di masa sekarang untuk ramah pada lingkungan. Pengambilan zat warna alam, dalam hal ini warna biru yang diambil dari tanaman nila seperti di bawah ini Nama umum dagang nila dan jenis tanaman ini sering disebut dengan indigo/indian indigo Inggris, tom/tarum Indonesia, tagungā€“tagung/taiom/taiung Filipina, kraam/nakho Thailand, cham Vietnam, tarom Malaysia Proses pengambilan zat warna alam indigo pada industri rumah masih menggunakan proses yang lebih dominan menggunakan tenaga manusia yaitu pada proses kebur aerasi, dan untuk mempermudah proses aerasi dapat digunakan alat kebur spray aerator. Oke para warga materi di atas adalah contoh dari salah satu gagasa/ide penggunaan alat produksi sistem tehnik dalam rangka proses pembuatan warna alami untuk bati. masih banyak lagi proses kegiatan lainnya yang ada di sekitar kita yang menggunakan alat produksi dengan sistem tehnik. klik "APRESIASI" untuk isi absensi isi apresiasi yang tidak sesuai dengan tema tidak dihitung sebagai absensi

ļ»æFungsiKemasan Produk. Berikut ini adalah fungsi kemasan produk, diantaranya adalah. Mempertahankan mutu. Memperpanjang masa simpan. Mempermudah penyimpanan dan pemasaran/transportasi. Menambah daya tarik bagi konsumen dan memberi informasi dan sarana promosi. Agar manfaat atau fungsi kemasan di atas dapat dicapai, maka beberapa hal-hal berikut
Buku ini memberikan beberapa pilihan model bisnis yang dapat dikembangkan. Mulai dari sistem on-grid, off-grid, jasa energi terbarukan hingga virtual power plant yang menjadi potensi pengembangan di masa mendatang. Bahasan juga mencakup segi teknis, ekonomi, hukum serta aspek keberlanjutan yang perlu diperhatikan. Studi kasus dilakukan pada tiga provinsi terpilih, yaitu Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat dan Kalimantan Timur. Meskipun memiliki studi kasus dalam pembahasan, buku ini tidak memberikan saran mutlak untuk model bisnis yang dapat dikembangkan pada ketiga provinsi tersebut. Lebih jauh, usulan model bisnis tidak terbatas pula pada tiga provinsi terpilih yang dituliskan pada buku ini. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free ii Model Bisnis untuk Memperkuat Peran Pemerintah Daerah dalam Pemanfaatan Potensi Energi Terbarukan di Indonesia Penulis Ardyanto Fitrady, Prof. Dr. Deendarlianto Adhika Widyaparaga, Dr. Rachmawan Budiarto Lesnanto Multa Putranto, Irine Handika, Dwi Novitasari, M. Hasan Imaddudin, M. E. Sc. Laras Prasakti, Dannys Arif Kusuma, M. Eng. Ekrar Winata, Ahmad Adhiim Muthahhari, Moses Gregory Ginting, Ryan Wiratama Bhaskara, Saiful Alim Rosyadi, Febryani Nugrahaningsih, Universitas Gadjah Mada Pusat Studi Energi Yogyakarta iii Model Bisnis untuk Memperkuat Peran Pemerintah Daerah dalam Pemanfaatan Potensi Energi Terbarukan di Indonesia Penulis Ardyanto Fitrady, Prof. Dr. Deendarlianto Adhika Widyaparaga, Dr. Rachmawan Budiarto Lesnanto Multa Putranto, Irine Handika, Dwi Novitasari, M. Hasan Imaddudin, M. E. Sc. Laras Prasakti, Dannys Arif Kusuma, M. Eng. Ekrar Winata, Ahmad Adhiim Muthahhari, Moses Gregory Ginting, Ryan Wiratama Bhaskara, Saiful Alim Rosyadi, Febryani Nugrahaningsih, Tata Letak dan Desain Sampul Rajib Khafif Arruzzi, Ilustrasi Freepik Diterbitkan oleh Pusat Studi Energi Universitas Gadjah Mada Sekip Blok K1-A Yogyakarta 55281 Bulaksumur Indonesia pse +62 274 549429 +62 274 549429 Edisi Oktober 2021 Hak Cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. ISBN 978-623-91932-2-5 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang. Dilarang memperbanyak atau memindahkan sebagian atau keseluruhan isi buku dalam bentuk apa pun, secara elektronis, maupun mekanis, termasuk fotokopi, merekam, atau dengan teknik perekaman lainnya, tanpa izin dari penerbit. Undang-undang nomor 19 Tahun 2000 tentang Hak Cipta, Bab XII Ketentuan Pidana, Pasal 71, Ayat 1, 2, dan 6. iv KATA PENGANTAR Salah satu tantangan Indonesia sebagai negara kepulauan adalah pemerataan akses energi bagi semua warga negara. Tidak tersedianya akses energi berpengaruh serius pada kesejahteraan dan produktivitas masyarakat di berbagai sektor, mulai dari rumah tangga, transportasi, maupun industri. Penyediaan energi listrik pada tingkat nasional juga masih didominasi bahan bakar fosil. Hal ini menyebabkan meningkatnya emisi karbon dan kerentanan penyediaan energi di masa depan. Pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk mengurangi emisi sebanyak 29% atau 41% dengan kerja sama internasional di tahun 2030 dengan menargetkan masuknya 23% energi terbarukan dalam bauran energi primer di tahun 2025. Permasalahan akses energi bukan hanya menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat ā€”dalam hal ini antara lain Kementerian ESDMā€” tetapi juga terdapat peran Pemerintah Daerah Pemda untuk mendukung transisi energi rendah karbon. Perencanaan transisi energi bisa menjadi peluang untuk memberdayakan Pemerintah Daerah Pemda dan komunitas lokal untuk berpartisipasi dalam pada model bisnis yang listrik berkelanjutan. Salah satu dukungan Pemda dalam mendukung energi berkelanjutan adalah adanya perencanaan energi wilayah lokal yang tertuang dalam Rencana Umum Energi Daerah RUED, perencanaan spasial perkotaan yang terperinci RDTR/Rencana Detail Tata Ruang serta dukungan dari lembaga-lembaga lain di daerah. Partisipasi Pemda perlu didorong secara penuh. Pemda dapat berkontribusi dalam berbagai hal, mulai dari inisiasi program pemanfaatan energi terbarukan, investasi melalui badan usaha milik daerah, memastikan dukungan masyarakat serta berbagai kegiatan lainnya. Terbitnya buku ā€œModel Bisnis untuk Memperkuat Peran Pemerintah Daerah dalam Pemanfaatan Potensi Energi Terbarukan di Indonesiaā€ merupakan salah satu bentuk tanggung jawab Pusat Studi Energi, Universitas Gadjah Mada untuk berkontribusi dalam menangani permasalahan nasional sekaligus mendukung Pemda untuk mengembangkan potensi energi terbarukan di daerah. Buku ini memberikan beberapa pilihan model bisnis yang dapat dikembangkan. Mulai dari sistem on-grid, off-grid, jasa energi terbarukan hingga virtual power plant yang menjadi potensi pengembangan di masa mendatang. Bahasan juga mencakup segi teknis, ekonomi, hukum serta aspek keberlanjutan v yang perlu diperhatikan. Studi kasus dilakukan pada tiga provinsi terpilih, yaitu Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat dan Kalimantan Timur. Meskipun memiliki studi kasus dalam pembahasan, buku ini tidak memberikan saran mutlak untuk model bisnis yang dapat dikembangkan pada ketiga provinsi tersebut. Lebih jauh, usulan model bisnis tidak terbatas pula pada tiga provinsi terpilih yang dituliskan pada buku ini. Akhir kata, penulisan buku yang berlangsung selama satu tahun ini tentu masih membutuhkan kritik saran dan masukan dari berbagai pihak untuk perbaikan di masa mendatang. Yogyakarta, Oktober 2021 Penyusun vi DAFTAR ISI Kata Pengantar ................................................................................................................ iv Daftar Isi .......................................................................................................................... vi Daftar Gambar ............................................................................................................. viii Daftar Tabel..................................................................................................................... ix Glosarium ..........................................................................................................................x 1. Pendahuluan ................................................................................................................1 Permasalahan pada Akses Energi di Indonesia ............................................... 1 Energi Terbarukan dalam Permasalahan pada Bauran Energi Primer ......... 1 Keberlanjutan Sustainability dari Perspektif Masyarakat dan Pemerintah Daerah ................................................................................................................... 1 Ketahanan Energi Daerah ................................................................................... 2 Model Bisnis Berkelanjutan untuk Pembangunan Terbarukan ..................... 2 Pentingnya Peran Pemerintah Daerah .............................................................. 2 2. Kebutuhan energi ........................................................................................................3 Kebutuhan energi ................................................................................................ 3 Transisi Energi ..................................................................................................... 4 3. Analisis Teknis ............................................................................................................7 Potensi Energi Terbarukan ................................................................................. 7 Potensi Energi Terbarukan di Indonesia ..................................................... 7 Rantai pasok Supply chain ............................................................................... 12 Pembangunan Pembangkit Listrik EBT ..................................................... 12 Pemilihan Pemasok Komponen Pembangkit Energi Terbarukan .......... 12 Analisis Kesiapan Nasional dalam Produksi Komponen Pembangkit ET13 Parameter Pemilihan dan Pertimbangan Teknologi Energi Terbarukan .... 14 Pembangkit Listrik Tenaga Air ................................................................... 14 Pembangkit Listrik Tenaga Surya PLTS .................................................. 14 Pembangkit Listrik Tenaga Angin .............................................................. 16 Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa .......................................................... 17 Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi .................................................... 19 Tantangan Teknis Pembangkit Listrik Energi Terbarukan .......................... 20 Batasan Integrasi Variabel Renewable Energy Sources VRES ................... 20 Transisi Sistem Tenaga ................................................................................. 27 4. Analisis Ekonomi ...................................................................................................... 30 Dampak terhadap perekonomian daerah ....................................................... 30 Potensi Manfaat Lingkungan ........................................................................... 32 vii 5. Analisis Hukum ........................................................................................................ 35 Pemetaan Hukum Pengembangan Energi Terbarukan dan Peran Pemerintah Daerah dalam Peraturan Pusat ................................................... 35 Peraturan Pemerintah Daerah .......................................................................... 36 Sektor Energi pada Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja .................. 36 Pemerintahan Daerah dan Amendemennya pada UU Cipta Kerja ....... 37 UU Ketenagalistrikan ................................................................................... 38 UU Energi ...................................................................................................... 38 Pengelolaan Peran Pemerintah Daerah dalam Peraturan Pemerintah tentang Kebijakan Energi Nasional ...................................................................... 40 Percepatan Pencapaian Target 23% Bauran Energi melalui Pembangunan Pembangkit Hybrid dan Pembangkit EBT secara Paralel............................. 41 6. Analisis Pemangku Kepentingan .......................................................................... 45 7. Model Bisnis .............................................................................................................. 50 Identifikasi parameter ....................................................................................... 50 Tujuan dan Kategori ..................................................................................... 50 Pemangku Kepentingan Utama .................................................................. 51 Aktivitas Utama Key Activity .................................................................... 51 Proposisi Nilai Value Proposition .............................................................. 52 Struktur Biaya Cost Structure .................................................................... 52 Aliran Pendapatan ........................................................................................ 53 Model Bisnis yang Diusulkan .......................................................................... 54 Model Bisnis On Grid ................................................................................... 54 Model Bisnis Off Grid ................................................................................... 57 Model Bisnis Jasa Energi Energy Service Provider ................................... 59 Sistem Virtual Power Plant VPP ................................................................ 61 Sistem Alternatif Sistem Energi Hidrogen ............................................... 65 Studi Kasus ......................................................................................................... 72 Nusa Tenggara Timur .................................................................................. 72 Nusa Tenggara Barat .................................................................................... 76 Kalimantan Timur ........................................................................................ 79 8. Kesimpulan dan Rekomendasi ............................................................................... 83 Daftar Pustaka ................................................................................................................. 87 viii DAFTAR GAMBAR Gambar 3-1 Peta Global Horizontal Irradiation Indonesia Sumber Atlas Bank Dunia, 2019 ..............................................................................................8 Gambar 3-2 Peta Energi Surya di Indonesia MW ...................................................8 Gambar 3-3 Peta Kecepatan Angin Indonesia Sumber Indonesia World Bank, 2019 ...........................................................................................................9 Gambar 3-4 Peta Energi Angin MW di Indonesia ..................................................9 Gambar 3-5 Sumber Energi Panas Bumi Potensi dan Cadangan di Provinsi-provinsi di Indonesia Direktorat Panas Bumi Ditjen EBTKE, 2017.................................................................................................................. 10 Gambar 3-6 Peta Potensi PLTA MW di Indonesia ................................................ 11 Gambar 3-7 Peta Energi Biomassa MW di Indonesia ........................................... 11 Gambar 3-8 Kesiapan Industri Komponen Listrik Nasional Mendukung rantai pasok PLTS PSE UGM, 2020 .............................................................. 12 Gambar 3-9 Skema Sederhana Sirkuit PV Surya ..................................................... 15 Gambar 3-10 Pembangunan Turbin Angin ................................................................ 16 Gambar 3-11 Gambaran NDC ...................................................................................... 23 Gambar 3-12 Ilustrasi Pembatasan TML .................................................................... 24 Gambar 3-13 Ilustrasi Pembatasan Unit Pembangkit Gas ........................................ 24 Gambar 3-14 Jenis Sistem Hybrid................................................................................ 26 Gambar 3-15 Langkah-Langkah Integrasi EBT Intermitten ke dalam Grid ........... 28 Gambar 7-1 Struktur Pemangku Kepentingan Model Bisnis On - Grid ............... 56 Gambar 7-2 Struktur Pemangku Kepentingan Model Bisnis Off - Grid ............... 58 Gambar 7-3 Berbagai Jenis Layanan yang Ditawarkan oleh Penyedia Layanan Energi ....................................................................................................... 59 Gambar 7-4 Penempatan Pemangku Kepentingan Model Bisnis VPP ................. 64 Gambar 7-5 Proses Produksi Hidrogen dari Gas .................................................... 66 Gambar 7-6 Proyeksi Permintaan Hidrogen ............................................................ 67 Gambar 7-7 Perbandingan antara Hidrogen dan Bahan Bakar Lain .................... 69 Gambar 7-8 Peta distribusi Intensitas GHI kWh/m2 di Nusa Tenggara Timur.................................................................................................................. 72 Gambar 7-9 Distribusi Intensitas Kecepatan Angin m/s di Nusa Tenggara Timur ....................................................................................................... 73 Gambar 7-10 Peta Distribusi Intensitas GHI kWh/m2 di Nusa Tenggara Barat 76 Gambar 7-11 Distribusi Kecepatan Angin m/s di Nusa Tenggara Barat ............ 76 Gambar 7-12 Peta Distribusi Intensitas GHI kWh/m2 .......................................... 79 Gambar 7-13 Distribusi Kecepatan Angin m/s di Kalimantan Timur ................. 79 ix DAFTAR TABEL Tabel 2-1 Konsumsi Listrik Konsumen di Indonesia TWh [1], [2] ........................3 Tabel 2-2 Usaha Daerah / Lokal yang Perlu di Pertimbangkan ..............................6 Tabel 3-1 Klasifikasi Energi Berdasarkan Kondisi Saat Ini PSE UGM, 2020 ...... 13 Tabel 3-2 Contoh Komponen Penyusun Panel Surya .............................................. 16 Tabel 3-3 Hubungan Antara Diameter Rotor dan Daya ......................................... 17 Tabel 3-4 Kadar Air dari Beberapa Sumber Biomassa............................................. 18 Tabel 3-5 Rincian Biaya PLTPB .................................................................................. 20 Tabel 3-6 Klasifikasi Sistem Tenaga Listrik [15] ....................................................... 20 Tabel 3-7 Klasifikasi Ukuran Pembangkit ................................................................. 21 Tabel 3-8 Perbedaan antara Energi Angin dan Surya ............................................. 22 Tabel 3-9 Pengelompokan Penelitian Sebelumnya berdasarkan Jenis Sistem Hibrida yang Digunakan ........................................................................... 27 Tabel 3-10 Teknologi Pembanngkitan EBT Intermitten ............................................ 29 Tabel 6-1 Matriks Pemangku Kepentingan............................................................... 49 Tabel 7-1 Bussiness Model Canvas On-Grid ........................................................... 55 Tabel 7-2 Business Model Canvas Off-Grid ............................................................. 58 Tabel 7-3 Business Model Canvas Model Bisnis Jasa .............................................. 60 Tabel 7-4 Struktur Pemangku Kepentingan Model Bisnis Jasa .............................. 61 Tabel 7-5 Business Model Canvas Virtual Power Plant ........................................ 63 Tabel 7-6 Elemen Transmisi, Distribusi dan Penyimpanan Rantai Nilai Hidrogen....................................................................................................................... 66 Tabel 7-7 Beberapa Deskripsi Teknis dalam Memproduksi Hidrogen ................. 68 Tabel 7-8 Metode Produksi Hidrogen dan Pertimbangan Lingkungan ................ 69 Tabel 7-9 Rencama Umum Energi Daerah NTT ....................................................... 75 Tabel 7-10 Rencana Umum Energi Daerah NTB ........................................................ 78 Tabel 7-11 Rencana Umum Energi Daerah Kalimantan Timur ................................ 82 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Indonesia Arah arus yang berubah-ubah secara bolak-balik Arus yang mengalir secara searah Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Persentase antara total konsumsi final energi terbarukan terhadap total konsumsi energi final Badan Informasi Geospasial Energi terbarukan yang didapatkan dari sumber biologis Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Konversi energi yang mengubah air menjadi uap dengan cara pemanasan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Pembakaran campuran biomassa dengan batu bara Corporate Social Responsibility, tanggung jawab sosial Jumlah energi yang tersimpan dalam sistem tertentu atau wilayah ruang per satuan volume Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan Dan Konservasi Energi Pertumbuhan ekonomi yang kuat, namun juga ramah lingkungan Proses powering menggunakan listrik biasanya berhubungan dengan pengisian daya yang berasal dari sumber luar Larangan impor atau ekspor Penyumbang pencemaran udara Kemampuan untuk melakukan kerja Jumlah energi dalam, volume dan tekanan panas dari suatu zat Engineering Procurement and Construction Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Energy Sevice Provider, Penyedia Layanan Energi Jenis boiler yang menggunakan bed material sebagai media penghantar panas untuk menstabilkan panas didalam furnace Properti fisik dalam ruang Sifat tidak tetap atau berubah-ubah Perubahan yang mendadak karena terjadi pembukaan dan penutupan saklar Perubahan bahan bakar padat secara termokimia menjadi gas Alat yang mengkonversi energi mekanik menjadi energi listrik Global Horizontal Irradiation Geographic Information System Hydro Power Potential Study Kompensasi yang diberikan Pembauran hingga menjadi kesatuan yang utuh Bergantian berfungsi dan tidak berfungsi Independent Power Producer Ketersediaan sumber energi yang tidak terputus dengan harga yang terjangkau Perubahan dari satu sistem ke sistem yang lain Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional Perpindahan baik barang/jasa, energi ataupun sumber daya yang lain Liquid organic hydrogen carriers Lembaga swadaya masyarakat Nationally Determined Contribution Menyimpan daya dalam baterai atau jika tidak ada di jaringan Menghasilkan daya ketika jaringan daya utilitas PLN tersedia Perserikatan Bangsa-Bangsa Biomassa berukuran diameter 6-10 mm dan panjang 10-30 mm Pembangkit Listrik Tenaga Air Pembangkit Listrik Tenaga Bayu Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa pembangkit listrik tenaga diesel Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi Pembangkit Listrik Tenaga Surya Pembangkit Listrik Tenaga Sampah Pembangkit listrik tenaga uap Perusahaan Listrik Negara Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Fotovoltaik, teknologi panel surya Perbandingan jumlah rumah tangga yang telah teraliri listrik dengan jumlah total rumah tangga Tempat sumber, tempat penyimpanan Alat mekanik yang berputar Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Rencana Umum Energi Daerah Rencana Umum Energi Daerah Provinsi Rencana Umum Ketenagalistrikan Daerah Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik Fasilitas pengolahan hasil tambang Peralatan elektronik yang digunakan untuk mengatur arus searah yang diisi ke battery dan diambil dari baterai ke beban Pembebasan pembayaran pajak dalam periode tertentu Proses termokimia dalam pemanfaatan biomassa yang lebih efektif untuk menghasilkan solid fuel Perangkat listrik yang dapat digunakan untuk mentransfer daya dari satu sirkuit dan sirkuit lain Perombakan pengadaan energi fossil ke energi terbarukan Mesin berputar yang mengambil energi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah United Nations Framework Convention on Climate Change Conference Sumber energi terbarukan variabel Halaman ini sengaja di kosongkan 1 1. PENDAHULUAN Permasalahan pada Akses Energi di Indonesia Akses energi -pada konteks ini dibatasi pada energi listrik- seharusnya tidak terbatas pada angka rasio elektrifikasi, tetapi juga pada sumber energi yang andal dan terjangkau. Akses energi telah menjadi salah satu faktor serius dalam kesejahteraan dan produktivitas rumah tangga. Meskipun penting, beberapa wilayah di Indonesia mengalami masalah keterbatasan dalam akses energi. Di daerah pedesaan, terdapat permasalahan yang lebih kompleks diantaranya karena infrastruktur yang terbatas serta tingginya biaya investasi untuk penyediaan energi berkelanjutan. Untuk itu, sering kali permasalahan akses energi diselesaikan dengan memberikan solusi jangka pendek, salah satunya penggunaan Pembangkit Listrik Tenaga Diesel PLTD. Penggunaan PLTD mengakibatkan daerah terpencil atau pedesaan bergantung pada bahan bakar fosil. Energi Terbarukan dalam Permasalahan pada Bauran Energi Primer Pada tingkat nasional, penyediaan energi listrik juga masih didominasi listrik berbahan bakar dasar fosil. Dominasi ini menyebabkan meningkatnya emisi karbon dan kerentanan penyediaan energi di masa depan. Pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk mengurangi emisi sebanyak 29-41% di tahun 2030 dengan menargetkan masuknya 23% energi terbarukan dalam bauran energi primer di tahun 2025. Demi mencapai target tersebut, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral ESDM merilis rencana untuk mengonversi 13 GW pembangkit listrik tenaga fosil menjadi energi terbarukan. Rencana konversi ini terdiri dari pembangkit listrik tenaga diesel PLTD sebesar 1,7 GW, pembangkit listrik tenaga uap PLTU 5,6 GW, dan pembangkit listrik tenaga gas uap PLTGU 5,9 GW yang tersebar di seluruh Indonesia [1] Keberlanjutan Sustainability dari Perspektif Masyarakat dan Pemerintah Daerah Masalah energi bukan hanya menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat, dalam hal ini antara lain Kementerian ESDM; tetapi juga terdapat peran Pemerintah Daerah Pemda untuk mendukung transisi energi rendah karbon. Perencanaan transisi energi bisa menjadi peluang untuk memberdayakan Pemerintah Daerah Pemda dan komunitas lokal untuk berpartisipasi dalam pada model bisnis yang listrik berkelanjutan. Salah satu dukungan Pemda dalam mendukung energi berkelanjutan adalah adanya perencanaan energi wilayah lokal yang tertuang dalam Rencana Umum Energi Daerah RUED, perencanaan spasial perkotaan 2 yang terperinci RDTR/Rencana Detail Tata Ruang serta dukungan dari lembaga-lembaga lain di daerah. Ketahanan Energi Daerah Rasio elektrifikasi nasional telah mencapai 98,93% pada tahun 2020, tetapi ada perbedaan yang cukup besar antara akses energi di bagian barat dan timur Indonesia. Rasio elektrifikasi di Maluku, Papua, dan Nusa Tenggara masih kurang dari 80% [2]. Selain permasalahan akses energi, keberlanjutan sumber energi juga menjadi isu yang patut dipikirkan. Ketergantungan pada pembangkit listrik berbahan bakar fosil berdampak pada risiko ketahanan energi. Di Indonesia, pembangkit listrik skala besar bergantung pada batubara yang sebagian besar dipasok dari Pulau Kalimantan. Sementara pada pulau-pulau kecil, pasokan solar untuk PLTD seringkali bermasalah pada ketersediaan/logistik. Untuk itu, pemanfaatan energi terbarukan berbasis potensi lokal menjadi solusi yang cukup menjanjikan, terutama bagi masyarakat di daerah. Model Bisnis Berkelanjutan untuk Pembangunan Terbarukan Pengembangan energi baru terbarukan EBT akan makin menarik jika secara ekonomi menghasilkan keuntungan. Untuk itu, diperlukan model bisnis berkelanjutan yang saling menguntungkan bagi semua pemangku kepentingan terkait. Diperlukan praktik bisnis berbeda yang menuntut kontribusi dari investor swasta dan pihak terkait lainnya. Oleh karena itu, upaya bersama dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, investor swasta, dan masyarakat lokal sangat penting dalam setiap inisiatif pengembangan energi terbarukan. Pentingnya Peran Pemerintah Daerah Partisipasi Pemda perlu didorong secara penuh. Hasil dari survei sebelumnya oleh PSE UGM menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat berbagai pemangku kepentingan merupakan faktor signifikan untuk pengoperasian pembangkit listrik berkelanjutan [3]. Pemda dapat berkontribusi dalam memastikan masyarakat dan perusahaan lokal menerima dan mendukung pembangunan pembangkit listrik energi terbarukan. Pemda dapat mengambil bagian melalui kegiatan berikut ā€¢ Menginisiasi program pemanfaatan EBT ā€¢ Investasi melalui badan usaha daerah BUMD ā€¢ Memastikan perkuatan dukungan dari masyarakat ā€¢ Menyediakan dukungan dalam operasional dan pemeliharaan pembangkit bagi masyarakat ā€¢ Menyediakan insentif tingkat wilayah, fasilitas investasi dan berbagai langkah afirmasi strategis guna membangkitkan bisnis EBT di daerah ā€¢ Kolaborasi dengan berbagai kementerian dalam mengakses berbagai insentif pemerintah pusat. 3 2. KEBUTUHAN ENERGI Kebutuhan energi Kebutuhan energi listrik di Indonesia terus naik setiap tahunnya pada berbagai sektor pengguna. Puncak beban listrik meningkat dengan rata-rata peningkatan 5,81% setiap tahunnya [2], [4]. Sementara Tabel 2-1 menunjukkan peningkatan konsumsi listrik yang terus naik sejak 2011 dengan rata-rata 5,7% per tahun [2], [4]. Berdasarkan data tersebut, diprediksi bahwa sepuluh tahun mendatang, kebutuhan listrik Indonesia akan meningkat sebesar 6,42% per tahun, dengan asumsi peningkatan pertumbuhan ekonomi sebesar 6,3%. Peningkatan penggunaan listrik dapat dilihat dalam hampir semua sektor, khususnya sektor rumah tangga. Hal ini menunjukkan bahwa peran energi listrik semakin penting dalam kehidupan masyarakat. Tabel 2-1 Konsumsi Listrik Konsumen di Indonesia TWh [2], [4] Kebutuhan listrik dapat dipenuhi dengan menyediakan kapasitas pembangkit yang memadai di seluruh Indonesia sehingga dapat menjangkau semua sektor konsumen. Penyediaan pembangkit EBT juga tumbuh seiring dengan peningkatan kapasitas pembangkit di Indonesia. Pertumbuhan ini merupakan kontribusi dalam pengurangan emisi gas rumah kaca GRK yang sejalan dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Perjanjian Paris, tentang Komitmen Pemerintah Republik Indonesia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 29% pada tahun 2030 [5], [6] 4 Transisi Energi Komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca yang disebabkan oleh perubahan iklim diwujudkan dalam rencana transisi energi. Upaya ini juga merupakan manifestasi dari komitmen internasional yang terkandung dalam Nationally Determined Contribution NDC [7] sebagai respons dari United Nations Framework Convention on Climate Change Conference UNFCCC ke-21 di tahun 2015. Pada agenda tersebut, Indonesia menyatakan bahwa ini akan mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 29% dengan skenario Business as Usual BaU di tahun 2030 dan 41% dengan bantuan internasional. Komitmen ini diperkuat melalui Undang-undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka Kerja PBB Mengenai Perubahan Iklim [6]. Untuk mendukung komitmen tersebut, Indonesia mencanangkan target EBT dalam bauran energi nasional minimal sebesar 23% pada 2025 dan 31% pada 2050. Salah satu tantangan yang dihadapi dalam pengembangan energi terbarukan di Indonesia adalah harga energi terbarukan yang kurang kompetitif dibandingkan bahan bakar fosil. Tantangan lain yang dihadapi terkait rendahnya pemanfaatan dan pengembangan pembangkit listrik energi terbarukan antara lain adalah [8] a Kebijakan tentang harga belum sepenuhnya diimplementasikan b Subsidi yang tidak jelas orientasinya c Peraturan belum sepenuhnya menarik bagi investor d Belum optimalnya insentif untuk pembangkit listrik EBT e Kurang tersedianya instrumen pembiayaan yang sesuai dengan kebutuhan investasi f Proses perizinan sulit dan memakan waktu lama g Masalah penyediaan lahan Kementerian ESDM melalui Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi Dirjen EBTKE juga berupaya untuk melaksanakan program pengembangan energi terbarukan, beberapa di antaranya adalah sebagai berikut [1] 1 Pembuatan pasar baru untuk ET; 2 Pengembangan PLTS dan PLTB dalam skala besar untuk menarik investor sekaligus mengembangkan industri lokal; 3 Sinergi pengembangan EBT dengan pengembangan kluster ekonomi, seperti Kawasan Khusus Ekonomi, Kawasan Industri dan Kawasan Wisata Unggulan; serta 4 Fasilitas pendanaan berbiaya rendah untuk investasi energi terbarukan. Berdasarkan [2] [9], 56% produksi listrik Indonesia disuplai oleh PLTU, disusul PLTGU sekitar 15% dan PLTA sebesar 8%. Saat ini, PLN juga memiliki sekitar PLTD di lokasi. Pada bulan November 2020, PLN meluncurkan program yang disebut ā€œKonversi 225 MW di 200 lokasi berbasis EBTā€. Program ini 5 dibagi menjadi tiga tahap konversi. Pada tahap pertama, kapasitas PLTD yang akan digantikan oleh pembangkit ET sebesar 0,225 GW yang tersebar di 200 lokasi. Di tahap dua dan tiga, kapasitas PLTD akan berkurang hingga 0,5 GW dan 1,3 GW. Telah disebutkan sebelumnya bahwa rasio elektrifikasi cukup bervariasi di seluruh wilayah Indonesia. Laporan ini akan berfokus pada tiga lokasi sebagai sampel analisis yaitu Nusa Tenggara Barat NTB, Nusa Tenggara Timur NTT, dan Kalimantan Timur. Berdasarkan data [3], elektrifikasi rasio di NTT, NTB, dan Kaliimantan Timur berturut-turut adalah 59,09%, 99,70%, dan 99% [10]. PLN berupaya untuk meningkatkan rasio elektrifikasi di NTT, NTB, dan daerah timur Indonesia dengan menggunakan tabung listrik talis. Talis bekerja sebagai baterai. Talis memiliki kapasitas beragam, mulai dari 300 Wh, 500 Wh, dan Wh, dan diperkirakan dapat digunakan masing-masing untuk 3, 4, dan 8 malam. Perkiraan ini berdasarkan asumsi beban tiga lampu masing-masing lima watt dan beroperasi sekitar delapan jam per hari. Pengembangan potensi ET di daerah diprediksi akan berkembang karena keberadaan Talis. Operasional Talis membutuhkan stasiun pengisian yang dapat dikembangkan sesuai dengan potensi di lokasi terkait, misalnya berupa PLTA, PLTBiomassa atau PLTS. PLN berencana melibatkan PEMDA dan perusahaan daerah untuk membangun stasiun pengisian listrik Talis. Energi lokal bisa dimanfaatkan secara optimal untuk memenuhi kebutuhan masyarakat lokal. Peran pemerintah dapat diupayakan agar tidak terlalu tinggi porsinya. Dalam prosesnya, perlu dipertimbangkan untuk membuat masyarakat makin berdaya. Jangan sampai aplikasi teknologi EBT sustainable dari sisi lingkungan, misalnya, tapi tidak berkelanjutan manfaat luasnya. Perlu adanya pengembangan partisipasi lokal, dengan memanfaatkan potensi lokal, membawanya ke pengembangan nasional, hingga mengawal proses ā€œself developmentā€ menjadi optimal. Apabila rakyat membutuhkan akses listrik, maka rakyat didorong pula untuk makin berkontribusi. Ketika membicarakan akses, masyarakat harus dilibatkan dari awal. Keterlibatan masyarakat dalam pengembangan potensi EBT, perlu didukung oleh Pemda. Pemda dapat pula berperan dalam peningkatan kapasitas dan kemampuan masyarakat untuk mengelola EBT. Penting untuk melakukan studi kelayakan sebelum memulai pekerjaan yang melibatkan aspek sosial dan ekonomi. Perlu rencana yang kreatif dan produktif untuk melibatkan masyarakat. Kebutuhan pasar juga perlu dipetakan untuk menentukan antara lain rantai pasok dari teknologi yang akan dikembangkan berdasarkan potensi lokal. Keterlibatan masyarakat setempat sangat penting bahkan untuk mengelola bisnis EBT di daerah, misalnya seperti untuk kebutuhan manajemen pembukuan pemasaran usaha. 6 Akses lokal juga sangat penting untuk dipertimbangkan. Setidaknya terdapat dua usaha daerah/lokal yang perlu dipertimbangkan, yaitu 1 Koperasi dan 2 Badan Usaha Milik Desa BUMDes. Penjelasan mengenai usaha daerah ini ditunjukkan di tabel Tabel 2-2. Tabel 2-2 Usaha Daerah / Lokal yang Perlu di Pertimbangkan Menjadi salah satu komponen di desa yang bisa berbinis dan punya izin usaha bisa di jadikan subsidi untuk biaya kelistrikan di daerah Tidak memiliki kapasitas teknis untuk pengelolaan EBT, pengalaman dan pengetahuan yang terbatas dalam bisnis berkelanjutan dan akses pasar. Untuk mencapai keberlanjutan pengelolaan teknologi EBT di daerah, berbagai pemangku kepentingan perlu berkoordinasi secara intensif sejak tahap perencanaan. Pendampingan masyarakat perlu dilakukan, antara lain dengan memberikan pemahaman tentang EBT agar dapat memunculkan rasa ingin memiliki dan menjaga teknologi yang akan diimplementasikan. Identifikasi model bisnis, usaha kecil, menengah dan besar serta akses pasar perlu dipertimbangkan pula dalam implementasi EBT di daerah. 7 3. ANALISIS TEKNIS Potensi Energi Terbarukan Pemetaan potensi adalah langkah pertama yang dilakukan sebelum membuat rencana pembangunan teknologi EBT di daerah. Dalam rangka memanfaatkan sumber energi terbarukan, pemetaan energi terbarukan merupakan tahap awal untuk memformulasikan rencana pembangunan pembangkit listrik ET [11]. Oleh karena itu, Pusat Studi Energi UGM telah memetakan sumber energi terbarukan menggunakan metode GIS Geographic Information System dengan Software ArcGIS Metode GIS ini dapat memetakan area yang berpotensi dalam pengembangan 1 PLTS dengan peta GHI Global Horizontal Irradiation, 2 PLTB dengan peta WV Wind Velocity, dan 3 PLTMh dengan penghitungan potensi mikrohidro, analisis topografi dan debit air, 4 PLTP dengan mengidentifikasi lokasi potensi panas bumi dan 5 PLTBm berdasarkan penelitian sumber biomass yang telah dilakukan oleh Kementerian ESDM [12]. Potensi Energi Terbarukan di Indonesia Energi Surya Gambar 3-1 menunjukkan peta Global Horizontal Irradiation dengan rentang nilai kurang dari 3,6 kWh/m2 dan lebih dari 6 kWh/m2. Tiap titik per area didigitalkan untuk mengekstrak besar potensialnya. Nilai 4,5 kWh/m2 per hari digunakan sebagai nilai ambang batas untuk menentukan lokasi potensi energi surya yang dapat dimanfaatkan sebagai pembangkit listrik tenaga surya untuk setiap provinsi di Indonesia. Hasil ekstraksi dari potensi lokasi tenaga surya dapat dilihat di Gambar 3-2. Provinsi Papua adalah provinsi dengan potensi energi surya terbesar dengan MW, disusul dengan Kalimantan tengah dengan MW. Ini disebabkan oleh topografi area datar yang terekspos dengan energi surya lebih besar daripada provinsi lainnya. Sementara itu, total potensi energi surya di Indonesia adalah MW atau 122,43 GW. Gambar 3-1 Peta Global Horizontal Irradiation Indonesia Sumber Atlas Bank Dunia, 2019 Gambar 3-2 Peta Energi Surya di Indonesia MW Energi Angin Gambar 3-3 menunjukkan peta kecepatan angin untuk setiap provinsi di Indonesia. Peta ini menunjukkan kecepatan angin rata-rata tahunan pada ketinggian 75 m dengan resolusi 5 km. Dalam studi ini, setiap titik per area didigitalkan untuk mengekstrak besaran potensialnya. Nilai 5 m/s per hari digunakan sebagai nilai ambang batas untuk menentukan lokasi potensi energi angin yang dapat dimanfaatkan sebagai pembangkit listrik tenaga angin untuk setiap provinsi di Indonesia. Hasil ekstraksi potensi lokasi energi angin dapat dilihat pada Gambar 3-4. 9 Provinsi Papua merupakan provinsi dengan potensi energi angin terbesar sebesar MW, disusul oleh Provinsi Maluku sebesar MW. Ini disebabkan oleh topografi area datar yang terekspos dengan energi angin lebih besar daripada provinsi lainnya. Sementara itu, total potensi energi angin di Indonesia adalah MW atau GW. Lebih detail, hal tersebut ditunjukkan pada Gambar 3-4. Gambar 3-3 Peta Kecepatan Angin Indonesia Sumber Indonesia World Bank, 2019 Gambar 3-4 Peta Energi Angin MW di Indonesia Energi Panas Bumi Untuk menghitung potensi energi panas bumi, kami menggunakan data dari Kementerian ESDM Indonesia, sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 3-5. Menurut data tersebut, Provinsi Jawa Barat memiliki potensi terbesar dengan Mwe yang terdiri dari potensi spekulatif sebesar Mwe dan potensi hipotesis sebesar 734 Mwe. 10 Gambar 3-5 Sumber Energi Panas Bumi Potensi dan Cadangan di Provinsi-provinsi di Indonesia Direktorat Panas Bumi Ditjen EBTKE, 2017 Energi Air Potensi PLTA di Indonesia menurut laporan Hydro Power Potential Study HPPS pada tahun 1983 adalah MW, dan data ini diulang dalam studi inventarisasi Tenaga Air pada tahun 1993. Namun, dalam laporan Master Plan Study for Hydro Power Development in Indonesia oleh Nippon Koei pada tahun 2011, potensi energi air setelah skrining pemantauan lebih lanjut adalah MW. Studi lain dilakukan oleh Ditjen EBTKE ESDM yang memetakan potensi PLTA menggunakan data dari Badan Informasi Geospasial BIG. Badan BIG ini telah mengumpulkan data daerah aliran sungai dari Kementerian PUPR dan data elevasi untuk menghitung tenaga airpotensi PLTA di Indonesia. 11 Gambar 3-6 Peta Potensi PLTA MW di Indonesia Energi Biomassa Pemetaan potensi biomassa dihitung menggunakan data dari berbagai jenis biomassa yang dapat ditemukan di 34 provinsi di Indonesia. Gambar 3-7 menunjukkan bahwa Provinsi Riau memiliki potensi tenaga biomassa terbesar berupa MW. Kemudian disusul oleh provinsi Jawa Timur sebesar MW. Gambar 3-7 Peta Energi Biomassa MW di Indonesia 12 Rantai pasok Supply chain Pembangunan Pembangkit Listrik EBT Berdasarkan data riset oleh Pusat Studi Energi UGM tentang kesiapan industri dalam mendukung pembangkit listrik tenaga surya PLTS, telah ditemukan bahwa perusahaan nasional memiliki kemampuan yang memadai dalam memproduksi teknologi untuk komponen PLTS, walaupun beberapa komponen panel surya harus diimpor karena bahan utamanya tidak tersedia. Berdasarkan Gambar 3-8 dapat dilihat bahwa penyebaran pemasok komponen sistem PV di Indonesia didominasi oleh perusahaan di Indonesia bagian barat. Mayoritas pemasok komponen sistem PV berlokasi di Jakarta dan Jawa Barat, yaitu Banten, Bekasi, Bogor, Bandung, dan Depok. Gambar 3-8 Kesiapan Industri Komponen Listrik Nasional Mendukung rantai pasok PLTS PSE UGM, 2020 Pemilihan Pemasok Komponen Pembangkit Energi Terbarukan Pemilihan pemasok adalah proses dimana pembeli mengidentifikasi, mengevaluasi, dan membuat kontrak dengan pemasok. Dalam hal pemilihan pemasok, biasanya ada banyak kriteria yang perlu dipertimbangkan dalam mengambil keputusan [13]. Ada banyak sarana pengambilan keputusan dalam memilih pemasok yang dipakai dalam Multi-criteria Decision Making MCDM, yaitu Data Envelopment Analysis DEA, Analytical Network Process ANP, Analytic Hierarchical Process AHP, dan Technique for Others Reference by Similarity to Ideal Solution TOPSIS. Pada kasus yang berbeda, pendekatan yang dilakukan juga berbeda. Hal ini tergantung pada kriteria dan metode yang diinginkan. Ada 13 beberapa metode yang unik seperti AHP Analytic Hierarchy Process akan lebih baik digunakan di unclear conditions daripada metode lainnya [14]. AHP dan ANP Analytic Network Process adalah metode yang menggunakan pendekatan matematis dan yang paling sering digunakan. Analisis Kesiapan Nasional dalam Produksi Komponen Pembangkit ET Pemerintah memberikan fleksibilitas dalam pembangunan EBT dengan menyediakan insentif fiskal, seperti tax holiday dan pembebasan bea masuk bagi BUMN strategis dan industri dalam negeri yang fokus pada pengembangan pembangkit listrik ET. Namun, kebijakan ini belum bisa memacu peningkatan kapasitas listrik ET. Untuk mendorong peningkatan kapasitas ET, perlu dilakukan analisis tentang seberapa jauh penggunaan komponen yang diproduksi oleh industri manufaktur domestik. Analisis ini sangat penting untuk dilakukan demi meningkatkan kemampuan teknologi industri lokal dalam mendapatkan formulasi kebijakan yang tepat bagi pemangku kepentingan. Tabel 3-1 menggambarkan kondisi fabrikasi dari setiap energi yang dihasilkan pada pembangkit listrik ET. Tabel 3-1 Klasifikasi Energi Berdasarkan Kondisi Saat Ini PSE UGM, 2020 Beberapa dapat diproduksi secara domestik kecuali turbin dan generator Beberapa dapat diproduksi secara domestik kecuali turbin dan generator Sebagian besar dapat diproduksi secara domestik kecuali turbin dan generator Semua komponen dapat dikerjakan secarapada level nasional Masih dalam tahap pengembangan dan proyek percontohan, tidakbelum ada tahap komersial di Indonesia Masih dalam tahap pembangunan pabrik baterai, saat ini baterai lithium masih diimpor Pemanfaatan komponen dalam negeri untuk pembangkitan, dimulai dengan bahan baku dan teknologi, perlu dikembangkan terus-menerus untuk mendukung kemandirian energi. Saat ini, beberapa komponen dapat diproduksi secara domestik, misalnya pada pembangkit listrik biomassa, panas bumi, air, dan mikrohidro. Untuk menjamin keberlanjutannya, diperlukan bagian penelitian dan pengembangan pabrik untuk meningkatkan kemampuan teknik sehingga mampu menghitung dan mendesain pembangkit secara mandiri, atau didukung oleh perusahaan teknologi yang mampu mendesain sistem dan peralatan pembangkit yang bersifat non-moving/non-dynamic. 14 Parameter Pemilihan dan Pertimbangan Teknologi Energi Terbarukan Pembangkit Listrik Tenaga Air Pembangkit listrik tenaga air sangat mirip dengan pembangkit listrik tenaga batu bara, di mana sumber energi digunakan untuk menggerakkan turbin yang menghasilkan listrik. Namun, dari pada menggunakan energi yang terkandung dalam uap super panas seperti di pembangkit listrik tenaga batu bara, pembangkit listrik tenaga air memanfaatkan potensi energi dari air yang sudah disimpan dalam bendungan. Berdasarkan jumlah kapasitas, pembangkit listrik tenaga air biasanya diklasifikasikan sebagai berikut [15] ā€¢ Mikrohidro kurang dari 100 kW ā€¢ Minihidro 100-500 kW ā€¢ Hidro skala kecil 500 kW - 10 MW ā€¢ Hidro skala besar di atas 10 MW Faktor penting yang harus dipertimbangkan dalam mendesain PLTA antara lain adalah 1. Aspek Topografi Berhubungan dengan estimasi data topografi dalam area fasilitas tenaga airpermukaan lahan, daerah aliran sungai untuk mendukung kinerja PLTA 2. Aspek Hidrologi Mempertahankan debit air untuk memperkirakan produksi energi pada PLTA 3. Aspek sipil Berisi desain infrastruktur PLTA, seperti konstruksi bendungan, struktur pertimbangan hidrolik, dan mendesain akses komponen pendukung lainnya 4. Aspek elektro-mekanik Terdiri dari turbin, pembangkit listrik, dan sistem kontrol 5. Aspek Ekonomi Evaluasi ekonomi dari PLTA penting untuk memperkirakan kelayakan teknologi tenaga air yang diusulkan. Pembangkit Listrik Tenaga Surya PLTS Komponen pada PLTS pada umumnya terdiri dari bagian-bagian penting sebagai berikut [16] 1. Panel Surya Komponen ini digunakan untuk mengkonversi radiasi matahari ke arus menjadi listrik DC. Arus listrik yang dihasilkan sebanding dengan intensitas mataharinya. 15 Jumlah sel atau ukuran panel yang lebih tinggi diperlukan untuk area pada radiasi matahari yang rendah agar menghasilkan listrik secara optimal.. 2. Solar charge controller Tegangan keluar dari panel surya perlu disesuaikan sebelum memasuki baterai. Alat ini digunakan untuk mengontrol tegangan yang dihasilkan. 3. Baterai Untuk mencegah intermitensi dari intensitas cahaya, energi listrik disimpan di dalam baterai sebelum digunakan. 4. Inverter daya Alat ini akan mengubah arus DC yang keluar dari baterai DC ke dalam menjadi arus AC sehingga dapat digunakan untuk banyak tujuanberbagai peralatan. Prinsip dasar panel surya dapat diasumsikan terdiri dari beberapa komponen penting seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3-9. Gambar 3-9 Skema Sederhana Sirkuit PV Surya Untuk mengoptimalkan daya yang dihasilkan oleh PLTS, beberapa hal perlu dipertimbangkan, termasuk 1. Aspek penyinaran surya Listrik yang dihasilkan dari panel surya secara langsung berbanding lurus dengan penyinaran matahari yang diterima. Fluks ideal untuk PV surya diperkirakan sekitar 5-6 kWh/m2/hari [16]. 2. Aspek Baterai Implementasi PLTS dapat dengan atau tanpa penambahan baterai sebagai penyimpan daya. Baterai sebagai penyimpan daya memberikan daya untuk pengguna ketika produksi dari PLTS rendah, sehingga meningkatkan keandalan dari sistem tersebut. Namun, perlu juga dicatat bahwa menambahkan baterai juga akan meningkatkan biaya pembangkitan energi. 16 3. Aspek ekonomi Pemanfaatan PLTS dalam studi ini difokuskan untuk area pedesaan/terpencil, oleh karena itu perlu dipastikan bahwa fasilitas tersebut layak secara ekonomi. Biaya pembangkitan listrik dengan PLTS berada pada kisaran US$ 0,06 sampai 0,22/kWh [17]. Biaya pembangkitan listrik dapat meningkat karena beberapa faktor, misalnya adanya termasuk penyimpanan dayapenambahan baterai dan maximum power point tracker MPPT dan penambahan perangkat pelacakan. Contoh biaya komponen untuk PLTS dapat diteliti diterlihat pada Tabel 3-2. Tabel 3-2 Contoh Komponen Penyusun Panel Surya Biaya operasional dan perawatan Pembangkit Listrik Tenaga Angin Turbin angin memanfaatkan kekuatan energi angin melalui bilahnya yang menangkap dan mengubah kecepatan angin menjadi energi rotasi. Ukuran turbin angin terus meningkat untuk mencapai kapasitas pembangkit. Gambar 3-10 dengan singkat melaporkan bahwa ukuran turbin angin telah meningkat sepanjang tahun. Gambar 3-10 Pembangunan Turbin Angin 17 Ada pun beberapa faktor yang harus dipertimbangkan dalam menggunakan tenaga angin, antara lain 1. Aspek potensi angin Sebagaimana disebutkan di Potensi Energi Terbarukan di Indonesia, potensi angin juga sudah dipertimbangkan bersamaan dengan lokasi dan musim. Kondisi angin juga akan sangat memengaruhi listrik yang dihasilkan untuk jenis turbin yang sama. Pemilihan lokasi dengan kepadatan angin yang tinggi memiliki peran esensial dalam mencapai pemanfaatan tenaga angin yang efisien. 2. Aspek diameter rotor Listrik yang dihasilkan juga meningkat dengan diameter rotor. Secara keseluruhan, hubungan antara ukuran rotor dan daya dapat ditunjukkan di tabel. Berdasarkan tabel ini, disebutkan bahwa perkembangan teknologi memungkinkan pembangunan rotor yang lebih besar sehingga memungkinkan hasil kapasitas yang lebih besar. Tabel 3-3 Hubungan Antara Diameter Rotor dan Daya 3. Aspek Ekonomi Kelayakan ekonomi dari turbin angin juga harus dievaluasi untuk memberikan penilaian yang komprehensif. Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa Untuk mengimplementasikan PLTBm, ada beberapa aspek yang harus dipertimbangkan, yaitu 1. Aspek komposisi Bahan baku biomassa yang baik memiliki kandungan oksigen dan abu yang rendah. Hal ini dapat menurunkan nilai kalor dan menimbulkan residu di dalam abu tidak terbakar masing-masing boiler. Selain komposisi elemen, penting juga untuk mengukur kadar air dari biomassa tersebut. Kadar air yang tinggi juga dapat meningkatkan biaya operasi melalui pengeringan konsumsi energi dan transportasi. Contoh kadar air untuk beberapa biomassa ditunjukkan pada Tabel 3-4. 18 Tabel 3-4 Kadar Air dari Beberapa Sumber Biomassa Pelet bahan bakar dari sampah 2. Aspek Densitas Energi Energy Density Salah satu tantangan yang sering muncul dalam penggunaan biomassa adalah densitas energi yang rendah dari biomassa tersebut. Densitas energi yang rendah akan meningkatkan biaya operasi karena proporsinya yang tinggi dalam biaya penanganan dan transportasi. Kekurangan tersebut dapat diminimalisir dengan menggunakan biomassa berbentuk pelet dan proses torrefaksi. Pelet memungkinkan biomassa untuk dipindahkan dengan cara yang lebih praktis. Metode ini dapat dikembangkan lebih lanjut melalui torrefaksi, di mana biomassa dipanaskan sekitar 200oC 3. Aspek Pembakaran Saat ini pembakaran langsung direct combustion biomassa untuk pembangkit listrik masih menggunakan metode cofiring dengan batu bara. Berdasarkan pengalaman utilisasi, rasio biomassa-batu bara akan memengaruhi proses dan desain peralatan, misalnya, 5-8% biomassa diperbolehkan untuk proses pencampuran sebelum dilumatkan, 25-50% biomassa akan memerlukan sistem fluidized bed dan untuk biomassa lebih dari 50% lebih sesuai menggunakan desain boiler tertentu. 4. Aspek ekonomi Energi berbasis biomassa secara relatif memiliki sifat yang lebih unik dibandingkan dengan sumber ET sebelumnya. Hal ini dikarenakan biomassa memerlukan penanganan atau persiapan sebelum dapat dimanfaatkan. Hal ini, kemungkinan akan memengaruhi biaya pembangkitan energi biomassa secara keseluruhan. 19 Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi Ada beberapa komponen utama dalam pembangkit listrik tenaga panas bumi, antara lain 1. Sumur produksi Sumur produksi adalah hulu dari PLTP tempat air garam panas bumi yang biasanya memiliki suhu di atas 240oC diproduksi. Reservoir panas bumi dapat berupa reservoir cair, reservoir yang didominasi uap, atau air panas. 2. Unit pembangkit uap dan listrik Terdapat beberapa konfigurasi unit pembangkit uap dan turbin yang mungkin dipilih untuk proses yang layak, misalnya flash tunggal, flash ganda, sistem biner, dll untuk menghasilkan uap super panas yang kemudian menghasilkan listrik 3. Unit pendingin air garam Uap super panas akan mengembun setelah bekerja di turbin. Karena proses perubahan fasa terjadi pada suhu yang relatif konstan, kondensat masih memiliki suhu tinggi. Kondensat yang panas perlu didinginkan menggunakan penukar panas atau menara pendingin sebelum dimasukkan kembali. Untuk memanfaatkan energi panas bumi, beberapa aspek perlu dipertimbangkan secara menyeluruh karena aspek-aspek ini juga dibahas untuk energi terbarukan sebelumnya. 1. Aspek kompleksitas Konstruksi PLTP memerlukan desain proses hulu dan hilir. Ini sangat berbeda dibandingkan dengan sumber ET yang disebutkan sebelumnya yang secara relatif lebih sederhana dan bahkan mungkin untuk dijalankan dalam unit portabel berskala kecil. 2. Aspek lingkungan dan regulasi Karena juga akan mencakup aktivitas hulu, maka dapat dipahami bahwa aktivitas tersebut sesuai dengan regulasi. Biasanya, regulasinya akan memiliki kaitan erat dengan aspek lingkungan, contohnya penilaian dampak lingkungan dan pemilihan lokasi. 3. Aspek entalpi ā€œKadar energiā€ reservoir panas bumi biasanya ditunjukkan berdasarkan nilai entalpi dari cairan panas bumi. Perkiraan entalpi ini merupakan informasi yang sangat penting karena ini akan menentukan pemilihan teknologi dan kondisi operasi. 4. Aspek ekonomi Selain aspek teknologi, mempertimbangkan nilai ekonomi juga perlu. Berdasarkan studi sebelumnya, diperkirakan biaya pembangkitan energi panas 20 bumi adalah sejumlah US$ Rincian biaya dapat dilihat lebih lanjut pada Tabel 3-5. Tabel 3-5 Rincian Biaya PLTPB Pengembangan lapangan uap Tantangan Teknis Pembangkit Listrik Energi Terbarukan Batasan Integrasi Variabel Renewable Energy Sources VRES Karakteristik sistem listrik dan ukuran saat ini bermacam-macam karena berbagai faktor, seperti pertumbuhan populasi, kepadatan populasi, dan faktor geografis [18]. Adanya perbedaan dalam berbagai ukuran sistem menjadi tantangan dalam perencanaan sistem, baik perencanaan pembangkitan dan transmisi. Ini berhubungan dengan pemilihan kandidat pembangkit, pemilihan tingkat tegangan transmisi dan pilihan sistem interkoneksi yang tepat. Oleh karena itu, dalam perencanaan sistem tenaga listrik dapat diusulkan untuk mengklasifikasikan sistem ke dalam beberapa kategori. Tabel 3-6 Klasifikasi Sistem Tenaga Listrik [17] Mikrogrid interko-neksi ke jaringan/terisolasi Dengan klasifikasi ukuran sistem tenaga listrik seperti pada Tabel 3-6, maka mungkin untuk menentukan ukuran generator yang dapat diintegrasikan ke dalam sistem. Ukuran pembangkit diklasifikasikan dalam beberapa istilah. Klasifikasi ukuran unit pembangkit dilakukan berdasarkan kriteria teknis dan desain untuk kepentingan regulasi jaringan dan sambungan. Misalnya, berdasarkan data pada Tabel 3-6 sistem tenaga listrik yang memiliki ukuran lebih dari 10 MW akan diintegrasikan ke sistem transmisi. Sistem transmisi telah mengklasifikan ukuran unit pembangkit yang tersambung, yang mengacu pada dokumen grid code, seperti grid code Jawa-Bali atau grid code Sumatra. Menurut grid code Jawa-Bali, klasifikasi 21 unit pembangkit didefinisikan sebagai kecil = 200 MW [19]. Sementara itu di grid code Sumatra, klasifikasi unit kecil adalah pembangkit = 100 MW [20]. Secara umum, klasifikasi ukuran pembangkit dengan tingkat integrasi sistem dapat dilihat pada Tabel 3-7. Tabel 3-7 Klasifikasi Ukuran Pembangkit Berdasarkan klasifikasi dalam sistem skala ini, maka dapat terlihat pertimbangan dalam metode ekspansi dan integrasinya dalam sistem tenaga listrik. Integrasi sistem, termasuk integrasi pembangkit, dapat dilakukan di tingkat transmisi, distribusi, atau terisolasi. Adanya klasifikasi yang telah mempertimbangkan aspek teknis dan desain sistem juga salah satu faktor yang menentukan batasan masuknya pembangkit ke dalam sistem kelistrikan. Penentuan batas integrasi pembangkit listrik, pembangkit energi terbarukan, akan dijelaskan di bawah ini Sistem Transmisi Integrasi pembangkit energi terbarukan memiliki beberapa tantangan karena karakternya, terutama untuk sumber energi terbarukan variabel VRES atau intermiten. Dampak VRE pada perilaku sistem juga berbeda dengan pembangkit listrik konvensional, terutama untuk kualitas daya, respons terhadap perubahan beban, dan selama gangguan jaringan [21]. Berdasarkan fleksibilitas sistem dalam merespon perubahan muatan, sistemnya harus menyeimbangkan supply dan demand. Jadi, sistemnya akan memiliki suplai yang tidak pernah terputus. Rentang operasional pengiriman daya membatasi integrasi VRES [22]. Integrasi VRE memerlukan beberapa analisis teknis, studi penetrasi VRE maksimum dan kemampuan jaringan yang layak, dan teknologi pendukung untuk menjaga keandalan, keberlanjutan, dan kualitas sistem daya. Utilitas sistem tenaga harus menyediakan beberapa kriteria teknis untuk mengintegrasikan VRE dalam sistem mereka, seperti pengaturan tegangan dan kemampuan daya reaktif, perjalanan tegangan rendah dan tinggi, respon inersia yang efektif, kontrol laju ramp daya dan/atau pembatasan output daya, dan kontrol frekuensi [21]. Beberapa karakter pembangkit listrik VRES, seperti angin dan PLTS, ditunjukkan di Tabel 3-8. Mengintegrasikan VRES memperhatikan beberapa hal. Perbedaan karakter dari masing-masing VRES harus dipertimbangkan. Energi angin masih berupa mesin yang berputar sehingga memiliki inersia yang sangat sedikit. Sebaliknya, energi surya hanya didasari pada perangkat elektronik daya 22 sehingga tidak memiliki inersia. Pembangkit listrik tenaga angin biasanya memiliki faktor kapasitas 20% sampai 50%, sementara PLTS berupa 10% sampai 25%. Tabel 3-8 Perbedaan antara Energi Angin dan Surya Variabel pembangkit listrik Seringkali acak pada skala waktu sub-musim, kondisi lokal dapat menghasilkan sebuah pola. Gerak planet hari, musim dengan hamparan statistik awan, kabut, salju, dlldll.. Uncertainty yang perlu di perhatikan saat diaggregasi Bentuk dan waktu pembangkit tidak diketahui. Faktor skala yang tidak diketahui dari bentuk yang diketahui. Tergantung pada sumber; biasanya, beberapa kejadian ekstrem. Sering, sebagian besar deterministik dan repetitif, dan terjal. Skala komunitas dan di atasnya. Rumah tangga dan di atasnya. Tidak serentak dan mekanis. Tidak serentak dan elektronis. Setelah mengetahui masing-masing jenis VRES, penting untuk memperhatikan kesiapan grid sebelum diintegrasikan dengan VRES. Terdapat beberapa persyaratan bagi grid sebelum integrasi VRES. Pertama, kontrol tegangan statis untuk menjaga pengaturan tegangan [20]. Di PV surya, hal ini dapat dicapai dengan kontrol inverter AC-DC saat pembangkit listrik tenaga angin disediakan melalui built-in control untuk turbin angin tipe 3 dan 4. Di samping itu, bank kapasitor atau reaktor bisa ditambahkan. Ketika diperlukan untuk regulasi tegangan dinamis, alat FACTS seperti SVC dan STATCOM dapat digunakan. Untuk menunjang respons inersia, kontrol inersia sintesis dalam inverter di PLTS dapat dicapai saat pembangkit listrik tenaga angin melekat pada turbin angin Tipe 1 dan 2. Tipe turbin angin lain, yaitu tipe 3 dan 4, dapat diperoleh dengan kontrol tambahan di inverter tersebut. Untuk menunjang respon frekuensi, kontrol inverter AC-DC di PV surya dapat memberikan fungsi alat pengatur atau seperti AGC, sementara pembangkit listrik tenaga angin dapat disuplai oleh semua turbin yang dilengkapi dengan beberapa bentuk pengaturan pitch. Penting untuk memperkirakan energi surya dan angin untuk mengantisipasi intermitensi VRES berdasarkan kondisi wilayah dan parameter yang memengaruhi keluaran energi. Sehingga operator grid dapat menjadwalkan pembangkit konvensional untuk mengikuti pola pembangkit VRES. Perlu juga untuk menyediakan sistem pemantauan yang lebih baik seperti sistem pemantauan area luas dengan PMU. Integrasi VRES dapat dilakukan dengan mengintegrasikan dalam jaringan transmisi, jaringan distribusi, atau skema mandiri. Penentuan jumlah integrasi ET seperti Angin dan Surya yang bisa dilakukan pada sistem transmisi perlu mempertimbangkan beberapa batasan. Hal ini disebabkan karena pembangkit listrik VRES menghasilkan pembangkit yang berfluktuasi, bergantung pada ketersediaan energi utama pada saat itu, yaitu radiasi matahari dan kecepatan 23 angin yang terus berubah sewaktu-waktu. Di sisi lain, pembangkit non-VRE harus menggabungkan fluktuasi daya aktif yang disebabkan oleh intermitensi dari pembangkit VRE. Karena batasan teknis dari sistem pembangkit, penting untuk menerapkan beberapa batasan dalam integrasi VRE. Penelitian serupa juga dilakukan yang berhubungan dengan pemodelan dan efeknya pada sistem transmisi [23], serta menentukan penetrasi maksimum sistem Jawa-Bali [24]. Terdapat beberapa pertimbangan dalam menentukan batas integrasi VRE dalam sistem daya listrik untuk mengkompensasi intermitensi dari energi surya dan angin, yang didiskusikan sebagai berikut [23] A. Declared Net Capacity DNC Pembangkitan DNC Non-VRE membatasi potensi peningkatan. Margin antara DNC dan nilai pengiriman unit pada slot waktu T harus merupakan kapasitas ramp-up maksimum yang tersedia pada saat itu. Kapasitas unit ini mungkin bervariasi dengan nilai yang berbeda untuk tiap slot waktu. Nilai kemampuan ramp-up adalah nol ketika output pembangkit mencapai DNC. Gambaran batasan DNC ditunjukkan pada Gambar 3-11. Gambar 3-11 Gambaran NDC B. Technical Minimum Load TML TML adalah muatan minimal yang dapat diterapkan pada pembangkit dengan mempertimbangkan faktor teknisnya. TML membatasi kemampuan ramp-down di mana margin antara TML dan nilai pengiriman unit pada slot waktu t adalah kemampuan ramp-down maksimum generator pada periode tersebut. Pembatasan operasi TML digambarkan di Gambar 3-12. 24 Gambar 3-12 Ilustrasi Pembatasan TML C. Pembatasan Coal Mill dan Swing Gas Coal mill dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas umpan batu bara dan efisiensi sebelum dimasukkan ke boiler. Output daya pembangkit tergantung pada jumlah mill yang aktif. Jumlah mill yang aktif menentukan keluaran daya maksimal. Selama pengoperasian mill, pembangkit tidak dapat meningkatkan atau menurunkan keluaran dayanya, sehingga pembangkit tidak memiliki kontribusi dalam mengimbangi fluktuasi. Selain itu, sebagian besar pembangkit listrik tenaga gas dan PLTGU khususnya di sistem Jawa-Bali memiliki pasokan gas dari pipa dan sejumlah kecil penyimpanan gas lokal, sehingga pengendalian aliran gas tidak fleksibel dan tidak beroperasi terus menerus selama setahun. Pembatasan-pembatasan ini disebut dengan faktor ā€œswing gasā€, dijelaskan pada Gambar 3-13. Gambar 3-13 Ilustrasi Pembatasan Unit Pembangkit Gas 25 D. Unit Pembangkit daya tetap Sistem pembangkit daya tetap terdiri dari banyak jenis, yaitu daya yang bisa dikirim tidak dapat dikirim, seperti pembangkit listrik tenaga panas bumi. Keluaran pembangkit listrik tenaga panas bumi cenderung dioperasikan secara kontinyu, mempertimbangkan bahan bakar yang ekonomis. Bahkan, terdapat ketidaktersediaan fleksibilitas dari sumber utama. Jadi tenaga panas bumi tidak termasuk pada fleksibilitas sistem. E. Fleksibilitas Sistem Daya Kemampuan sebuah sistem untuk mengkompensasi fluktuasi beban ditunjukkan oleh fleksibilitas. Fleksibilitas dalam sistem pembangkit, ditunjukkan dengan kemampuan unit pembangkit untuk merespons variasi beban atau beban bersih. Fleksibilitas sistem pembangkit ditunjukkan dengan kemampuan kecepatan ramp. F. Kontrol Daya Aktif Kontrol daya aktif memungkinkan sistem untuk mengontrol keluaran daya aktif dari unit pembangkit dalam merespons tingkat frekuensi. Dengan kontrol daya aktif seperti automatic generation control AGC, output unit pembangkit berubah lebih sering, meningkatkan biaya operasi. Namun, stabilitas dan keandalan sistem meningkat. Interkoneksi antara pembangkit listrik energi terbarukan dengan jaringan distribusi PLN secara khusus diatur di [24]. Peraturan ini adalah panduan untuk sambungan pembangkit listrik energi terbarukan dengan total kapasitas terpasang hingga 10 MW, terhubung pada titik sambungan dan beroperasi secara paralel dengan sistem distribusi radial PLN pada tegangan 20 kV atau lebih rendah. Studi [25] telah menginterkoneksikan PLTS dengan jaringan distribusi di area Bantul. Dalam studi [25], proses integrasi PV dengan jaringan distribusi mempertimbangkan beberapa faktor a Tegangan jaringan Tegangan pada jaringan dapat berubah karena pengaruh masuknya PV ke jaringan distribusi. Adanya integrasi ini dapat menyebabkan peningkatan tajam tegangan yang yang berpotensi menimbulkan gangguan berupa tegangan lebih. b Beban line dan transformer Beban line dan transformer yang disebabkan oleh integrasi fotovoltaik tidak boleh lebih dari 80%. c Faktor kekuatan jaringan Faktor kekuatan jaringan tidak boleh kurang dari 85%. 26 Sistem Hybrid/Pembangkit Listrik Virtual Daerah terpencil seperti pulau-pulau kecil, wilayah perbatasan, dan area pegunungan biasanya terletak jauh dari jaringan listrik yang besar. Area ini umumnya menggunakan mode catu daya independen yang terpisah dari jaringan listrik utama. Pemanfaatan sumber EBT lokal merupakan langkah efektif untuk membangun sistem kelistrikan di daerah tersebut. Namun, pemanfaatan sumber EBT lokal seperti angin dan matahari akan menimbulkan tantangan tersendiri, terutama karena sifatnya yang intermiten dan tidak pasti [26]. Model sistem hibrida dapat digunakan untuk mengatasi kekurangan dari pembangkit listrik EBT intermiten mandiri. Sistem hibrida bukanlah konsep baru dalam pengembangan pembangkit listrik. Namun, belakangan ini sistem hibrida menjadi topik yang ramai diperbincangkan dalam ranah pengembangan pembangkit listrik. Hal ini dikarenakan peningkatan penggunaan EBT yang bersifat intermiten sehingga harus digabungkan dengan pembangkit listrik jenis lain. Selain meningkatkan reliabilitas sistem, penggunaan sistem hibrida juga bertujuan untuk meningkatkan efisiensi [27] Gambar 3-14 menunjukkan pengelompokan jenis sistem hibrida secara garis besar. Sistem hibrida dikelompokkan berdasarkan jenis tenaga yang digunakan, yaitu Fosil & EBT serta EBT & EBT. Pada jenis Fosil & EBT, pembangkit listrik tenaga fosil bertugas menyokong atau sebagai cadangan bagi pembangkit listrik EBT. Pada jenis EBT & EBT, kedua pembangkit listrik akan menyokong dan menjadi cadangan bagi satu sama lain. Gambar 3-14 Jenis Sistem Hybrid 27 Kedua jenis sistem hibrida tersebut dapat dikelompokkan kembali menjadi 2 jenis, yaitu menggunakan penyimpanan dan tidak menggunakan penyimpanan. Sistem yang menggunakan penyimpanan memiliki area operasi pembangkitan yang lebih fleksibel dibandingkan dengan yang tidak menggunakan penyimpanan. Hal ini karena penyimpanan akan menyediakan energi yang dapat digunakan kapan saja. Untuk menentukan digunakan atau tidaknya penyimpanan serta menentukan ukuran penyimpanan yang akan digunakan, kita dapat menggunakan proses optimasi, entah itu dengan metode yang tepat ataupun pendekatan. Tabel 3-9 menunjukkan beberapa penelitian sebelumnya yang sudah dikelompokkan berdasarkan jenis sistem hibrida. Tabel 3-9 Pengelompokan Penelitian Sebelumnya berdasarkan Jenis Sistem Hibrida yang Digunakan Fosil dan EBT dengan penyimpanan Angin + PV + Sel Bahan Bakar + Mikroturbin Turbin mikro [27] Fosil dan EBT tanpa penyimpanan Angin + Gas [28] PV + Gas [29] Konvensional + Angin + PV [30] EBT dan EBT dengan penyimpanan Angin + PV [31], [32] Angin + Tenaga Surya + Pompa Air [33], [34] EBT dan EBT tanpa penyimpanan PV + Angin [35] Tenaga Surya + Angin + Air [36] Angin + PV + Biomassa [37] Transisi Sistem Tenaga Agar sistem yang ada dapat menerima generator EBT intermiten dengan baik, integrasi EBT intermiten dalam grid memerlukan beberapa langkah. Tiga langkah signifikan adalah studi interkoneksi, studi desain, dan studi kontrol [38]. Langkah-langkah tersebut ditunjukkan secara rinci pada Gambar 3-15. Dalam studi interkoneksi, beberapa analisis dilakukan untuk merencanakan perluasan pembangkit dan transmisi. Perluasan tersebut bertujuan mengakomodasi integrasi EBT intermiten. Analisis pertama adalah analisis steady state yang akan menyelidiki kondisi operasional grid yang sudah ada. Dengan demikian, besaran integrasi EBT intermiten yang diperbolehkan masuk ke sistem dapat diketahui, terutama ketika terjadi gangguan seperti korsleting atau kontingensi N-1. Analisis steady state ini menggunakan studi aliran daya untuk menentukan perencanaan ekspansi transmisi, kebutuhan kompensasi daya reaktif, perencanaan operasi sistem tenaga, dan kinerja sistem tenaga dalam kondisi gangguan [39]. Kemudian, studi short circuit dilakukan untuk menentukan spesifikasi peralatan sistem tenaga dan perangkat proteksi pada kondisi korsleting. 28 Gambar 3-15 Langkah-Langkah Integrasi EBT Intermitten ke dalam Grid [38] Studi lain yang dilakukan adalah studi dinamika daya dan analisis stabilitas. Studi ini berguna untuk mengidentifikasi respons unit yang diusulkan terhadap gangguan jaringan kecil dan besar, termasuk gangguan transien. Studi ini memastikan bahwa integrasi EBT intermiten ke dalam jaringan tidak akan mengurangi kemampuan sistem untuk menjaga semua mesin tetap sinkron selama dan setelah terjadi kesalahan. Yang terakhir adalah studi fasilitas untuk menghitung estimasi biaya investasi, biaya operasi dan pemeliharaan, dan biaya energi yang diratakan selama proyek berlangsung. Studi desain dilakukan dengan melakukan peninjauan, desain rekayasa detail, dan studi interkoneksi penuh. Dengan demikian, studi desain bersifat lebih rinci daripada studi interkoneksi. Langkah terakhir studi ini adalah studi kontrol, seperti menghubungkan EBT intermiten ke jaringan, commissioning, uji nyata, dan sertifikasi sistem tenaga. Data teknis utama untuk pembangkit listrik EBT intermiten, tenaga angin, dan tenaga surya ditunjukkan pada Tabel 3-10 29 Tabel 3-10 Teknologi Pembanngkitan EBT Intermitten Operasi dan Pemeliharaan Tetap $/MWe/year Panel surya ā€“ skala besar Angin ā€“ skala kecil di daratan Angin ā€“ skala besar di daratan Biasanya, faktor kapasitas untuk panel surya adalah antara 20-21%. Dengan kata lain, panel surya dapat menghasilkan energi dengan kapasitas penuh dalam 4,8 hingga 5,04 jam setiap harinya. Pembangkit listrik tenaga angin memiliki tiga skala yang berbeda pembangkit skala kecil di daratan, skala besar di daratan, dan di lepas pantai. Pembangkit listrik tenaga angin daratan memiliki faktor kapasitas sebesar 34-37%. Sebagai perbandingan, pembangkit listrik tenaga angin lepas pantai memiliki faktor kapasitas sebesar 48-50%. Biaya investasi dan Operasi dan Pemeliharaan O&M tetap untuk pembangkit listrik tenaga surya dan angin menurun dari tahun 2020 hingga 2050. Pembangkit listrik tenaga panel surya memiliki biaya investasi dan O&M tetap yang lebih rendah daripada pembangkit listrik tenaga angin berukuran sama. Modul panel surya biasanya berukuran 1-2 m2 dan memiliki kerapatan daya yang berkisar antara 100ā€“210 Wp/ m2. Panel surya diprediksikan memiliki masa pakai selama 25 tahun. Sementara itu, ukuran turbin angin terus bertambah dari tahun ke tahun. Generator yang lebih besar, hub yang lebih tinggi, dan rotor yang lebih besar berkontribusi meningkatkan pembangkitan listrik pada turbin angin. Kapasitas spesifik yang lebih rendah meningkatkan luas rotor hingga menjadi sangat proporsional terhadap rating generator akan menambah faktor kapasitas produksi energi per kapasitas generator. Keluaran daya pada kecepatan angin di bawah daya terukur berbanding lurus dengan luas sapuan rotor. Selain itu, hub turbin yang lebih tinggi akan menyediakan sumber angin yang umumnya lebih tinggi pula 30 4. ANALISIS EKONOMI Transisi menuju energi baru dan terbarukan tidak dapat ditunda lagi untuk memastikan semua negara di dunia bergerak bersama memperlambat pemanasan global. Meskipun seringkali dianggap sebagai sebuah investasi yang tidak murah, utilisasi EBT akan memberikan manfaat ekonomi, tangible maupun intangible, yang jauh lebih besar dibanding potensi biaya yang harus dikeluarkan jika transisi tersebut tidak dilakukan. Komitmen Indonesia untuk ikut berkontribusi di dalam penanganan perubahan iklimā€”dengan menandatangani Paris Agreement di April 2016ā€”memastikan bahwa Indonesia harus segera bergerak untuk mencapai penurunan emisi dibanding kondisi business-as-usual sebesar 29 persen dengan upaya sendiri atau 41 persen dengan kerja sama internasional. Manfaat ekonomi transisi energi ini tidak hanya akan terjadi di masa depan, tetapi juga akan terjadi di saat transisi ini dilakukan. Perubahan memaksa setiap aktor ekonomi untuk beradaptasi. Pemerintah pusat dan daerah, BUMN, swasta, dan masyarakat harus bergerak bersama untuk bertransisi. Aktivitas ekonomi baru terkait transisi energi yang bersifat nasional maupun lokal akan muncul dan menciptakan nilai tambah ekonomi yang secara langsung juga berperan terhadap keberhasilan proses transisi energi di Indonesia. Pada subbab selanjutnya secara ringkas akan dijelaskan potensi manfaat ekonomi pengembangan EBT terhadap perekonomian daerah dengan contoh potensi ekonomi di NTB, NTT, dan Kalimantan Timur. Dampak terhadap perekonomian daerah EBT tidak hanya mengurangi efek rumah kaca dan menyelamatkan bumi, tetapi juga berkontribusi pada perekonomian negara dan daerah. Umumnya, konsumsi EBT berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi secara nasional. Beberapa penelitian menemukan korelasi positif antara Produk Domestik Bruto PDB dan konsumsi EBT, di mana setiap kenaikan sebesar 1 persen pada konsumsi EBT dapat meningkatkan PDB sampai sebesar 0,105 persen [40]. Dengan cara yang sama, penggandaan pangsa EBT diestimasikan akan meningkatkan PDB global sebesar 0,6 hingga 1,1 persen. [4] Di tingkat daerah, keuntungan ekonomi berkaitan erat dengan investasi, baik dari pemerintah maupun perusahaan swasta. Investasi EBT di wilayah pedesaan berpotensi mendorong pertumbuhan ekonomi lokal, meningkatkan pendapatan rumah tangga, dan menyediakan lapangan kerja baru. Selain manfaat terkait investasi, dampak positif bisa juga muncul dari desentralisasi pembangkit 31 listrik. Masalah interkoneksi listrik yang merupakan konsekuensi dari bentuk negara kepulauan dapat diatasi dengan membangun pembangkit listrik yang terdesentralisasi. Dengan demikian, masyarakat lokal dapat mengakses energi secara lebih mudah. Selain manfaat-manfaat yang sudah disebutkan di atas, EBT dapat memberikan manfaat yang sesuai dengan agenda pembangunan ekonomi daerah. Nusa Tenggara Barat NTB, Nusa Tenggara Timur NTT, dan Kalimantan Timur adalah contoh tiga daerah yang akan mendapatkan manfaat dari pengembangan EBT di daerah. Manfaat ini dapat berlaku untuk provinsi lain yang memiliki agenda pembangunan ekonomi serupa. Manfaat Potensial untuk Perekonomian Daerah NTB Pengembangan EBT akan seiring sejalan dengan industrialisasi di NTB. Industri EBT ini telah tercantum di daftar sektor prioritas utama dalam Peta Jalan Pengembangan Industri Provinsi NTB. Dalam pengembangan industri EBT dibutuhkan material, jasa, dan peralatan dari industri manufaktur lainnya, sehingga mendorong permintaan produk dari sektor manufaktur tersebut. Pada gilirannya, hal ini akan memberikan berbagai keuntungan langsungā€”peningkatan lapangan kerja, tambahan pendapatan daerah, dan penerimaan pajakā€”dan tidak langsung yang muncul dari pertumbuhan sektor manufaktur lainnya. Energi terbarukan juga berpotensi mengurangi tingkat pengangguran yang tinggi di provinsi ini. Sebagian besar pengangguran di provinsi ini adalah lulusan Sekolah Menengah Kejuruan. Industri energi terbarukan akan menciptakan lapangan kerja yang cocok untuk lulusan Sekolah Menengah Kejuruan, mulai dari teknisi servis, insinyur listrik, insinyur konstruksi, hingga insinyur pemeliharaan. Industri ini juga memiliki rantai nilai yang panjang sehingga melahirkan peluang bisnis lokal baru dalam setiap tahap dalam rantai produksi. Manfaat Potensial untuk Perekonomian Daerah NTT Pengembangan EBT dapat mengatasi masalah akses energi di provinsi tersebut. Provinsi ini lama terus berjuang mengatasi kemiskinan, terutama di daerah terpencil yang masyarakatnya sangat sulit mengakses sumber daya energi. Pada tahun 2019, rasio elektrifikasi di NTT adalah sebesar 85,84 persen, lebih rendah dari rata-rata nasional yang sebesar 98,89 persen. Kekurangan listrik menciptakan ā€œlingkaran setanā€ di mana kegiatan yang menghasilkan pendapatan sulit dilakukan karena kurangnya listrik, yang pada gilirannya akan membuat masyarakat miskin tidak mampu membayar listrik. Pengembangan EBT yang terdesentralisasi memiliki potensi untuk menyediakan akses energi yang memadai bagi masyarakat di area terpencil ini. Kedua, dengan memanfaatkan skema pembangkit listrik yang terdesentralisasi, lapangan kerja dan peluang usaha tambahan bagi masyarakat 32 lokal akan tercipta. Masyarakat bisa mendapatkan keuntungan dari usaha tambahan. Badan Usaha Milik Desa BUMDes dapat diundang untuk berpartisipasi dalam kepemilikan dan pengoperasian pembangkit listrik energi terbarukan. Manfaat Potensial untuk Kalimantan Timur Perekonomian Kalimantan Timur sangat bergantung pada sektor pertambangan dan ekstraksi yang tidak berkelanjutan. Sektor tersebut telah memberikan kontribusi kepada PDB provinsi sebesar 48,6 persen sejak tahun 2010. Ketergantungan pada pertambangan batu bara menimbulkan risiko besar bagi ketahanan ekonomi provinsi. Fluktuasi harga internasional terbukti membahayakan kesinambungan pertumbuhan, terutama di tahun 2020 ketika sektor provinsi mengalami pertumbuhan negatif akibat penurunan permintaan batu bara. Jika aktivitas ekonomi daerah tidak beralih dari dominasi pertambangan batu bara, pertumbuhan ekonomi daerah tidak dapat dipertahankan. Pengembangan EBT juga akan mendukung pembangunan ibu kota negara yang baru. Rencana ini menyerukan pengembangan kota hijau yang didukung oleh sistem EBT. Setidaknya 39 persen energi ibu kota baru akan dipasok dari pembangkit listrik tenaga air EBT. Akan menjadi pencapaian besar bagi pemerintah provinsi Kalimantan Timur jika mereka dapat berkontribusi untuk pemenuhan target ini. Potensi Manfaat Lingkungan EBT diketahui menghasilkan emisi gas rumah kaca yang lebih rendah dibandingkan dengan energi bahan bakar fosil. Beberapa penelitian telah melakukan Analisis Siklus Hidup Life Cycle Analysis/LCA untuk membandingkan manfaat relatif antara bahan bakar EBT dan fosil. LCA tidak hanya terbatas pada emisi karbon, tetapi juga dapat menggabungkan rasio energi bersih Net Energy Ratio/NER, yakni rasio antara keluaran energi bermanfaat yang dikirim ke jaringan dan energi fosil yang digunakan selama proyek berlangsung [41]. Studi tersebut menunjukkan bahwa EBT memiliki APM yang lebih tinggi dibandingkan dengan bahan bakar fosil. Angka APM untuk EBT berkisar antara 9 sampai dengan 65 angin adalah energi dengan APM tertinggi, yakni mencapai 65, sedangkan angka APM untuk bahan bakar fosil hanya berkisar antara 0,3 sampai dengan 0,4. Indikator emisi gas rumah kaca di LCA juga menunjukkan bahwa EBT menghasilkan emisi GRK yang lebih rendah selama proyeknya berlangsung. Emisi GRK terendah dihasilkan oleh panas bumi sekitar 17 gram CO2e/kWh, diikuti oleh gelombang laut sekitar 22 gram CO2e/kWh, hidro sekitar 25 gram CO2e/kWh, biomassa sekitar 55 gram CO2e/kWh, dan tenaga surya sekitar 70 gram CO2e/kWh [41]. Sementara itu, emisi GRK yang dihasilkan dari batubara 33 sekitar 1000 gram CO2e/kWh dan gas sekitar 500 gram CO2e/kWh. Meta-studi yang dilakukan oleh Asosiasi Nuklir Dunia juga menunjukkan bahwa teknologi EBT menghasilkan intensitas emisi GRK yang jauh lebih rendah per GWh listrik dibandingkan dengan bahan bakar fosil selama proyek berlangsung. EBT yang menghasilkan emisi GRK tertinggi adalah panel surya, yaitu sebesar 85 ton CO2e/GWh, sedangkan penghasil GRK terendah pada teknologi bahan bakar fosil adalah gas alam sebesar 499 ton CO2e/GWh. Implementasi sistem pasok listrik berbasis batubara masih didukung secara luas dengan pertambangan batubara yang dilakukan secara terbuka open pit minning. Ekternalitas tambang batubara ini juga belum sepenuhnya terinternalisasi. Ini berpotensi menimbulkan dampak lingkungan dalam skala luas dan jangka panjang, yang berisiko memicu dampak lebih luas tidak hanya dalam aspek lingkungan. Dengan bertransisi ke EBT, setiap wilayah akan merasakan maslahat lingkungan tersebut. Untuk memperoleh manfaat EBT secara maksimal, ada hal-hal yang harus menjadi fokus masing-masing provinsi Nusa Tenggara Timur Sejak tahun 2005 hingga 2013, profil emisi Nusa Tenggara Timur didominasi oleh sektor transportasi 61 persen dan energi 39 persen. Emisi karbon dari sektor energi dan transportasi masing-masing tumbuh sebesar 122,92 persen dan 167,64 persen pada tahun 2013. Dengan demikian, kawasan ini dapat memanfaatkan penggunaan EBT untuk mengurangi emisi GRK. Selain itu, program penurunan emisi juga selaras dengan Rencana Pembangunan Daerah Nusa Tenggara Timur. Sektor transportasi bisa beralih dari bahan bakar fosil konvensional ke bahan bakar nabati. Sementara itu, sektor energi dapat memanfaatkan energi terbarukan untuk menghasilkan listrik yang lebih berkelanjutan. Nusa Tenggara Barat Profil emisi NTB juga didominasi oleh sektor transportasi 78 persen dan energi 22 persen. Pada tahun 2013, emisi dari sektor energi tumbuh 200,26 persen dan -1,43 persen untuk sektor transportasi. Dengan demikian, area ini sebaiknya menggunakan EBT dalam rangka mengurangi emisi. Selain itu, menurut Rencana Pembangunan Daerah provinsi ini, penyebaran EBT akan membantu Pemerintah mencapai pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan, yang indikatornya adalah tercapainya kualitas air dan udara pada tahun 2023 dan adanya porsi EBT sebesar 5,83 persen pada bauran energi. Kalimantan Timur Sebagaimana dua provinsi sebelumnya, profil emisi Kalimantan Timur juga didominasi oleh sektor transportasi 62 persen dan energi 29 persen. Di tahun 34 2013, jumlah emisi tumbuh sebesar 222,77 persen untuk sektor energi dan 646,28 persen untuk sektor transportasi. Untuk mengurangi emisi karbon dari kegiatan ekonomi dan non-ekonomi, Kalimantan Timur dapat memanfaatkan EBT. Sumber EBT dapat menggantikan penggunaan bahan bakar fosil dalam menghasilkan listrik. Laju meluasnya kawasan tambang batubara diharapkan dapat ditekan. Pengembangan EBT dapat digunakan sebagai strategi transformasi lahan di kawasan bekas tambang. Bahan bakar minyak dan listrik juga dapat digantikan dengan bahan bakar nabati yang dihasilkan energi terbarukan untuk mengoperasikan kendaraan listrik. Terakhir, pemanfaatan energi terbarukan sejalan dengan perencanaan pembangunan daerah provinsi Kalimantan tidur yang berencana mereformasi kawasan bekas tambang dan bergerak menuju ekonomi hijau. 35 5. ANALISIS HUKUM Pemetaan Hukum Pengembangan Energi Terbarukan dan Peran Pemerintah Daerah dalam Peraturan Pusat Peran Pemerintah Daerah dalam pengembangan Energi Terbarukan sangat tergantung pada rancangan pengaturan kewenangan yang dikonstruksi oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam pasal 1 angka 6 UU 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan, definisi kewenangan adalah kekuasaan Instansi dan/atau Pejabat Pemerintah atau penyelenggara negara lainnya untuk bertindak dalam ranah hukum publik. Kewenangan adalah hak yang dimiliki oleh Instansi dan/atau Pejabat Pemerintah atau penyelenggara negara lainnya untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Faktor-faktor berikut memengaruhi seberapa besar porsi Pemerintah Daerah dalam menjalankan perannya 1 Sejauh mana regulasi terkait Energi Terbarukan mengadopsi konsep Desentralisasi Energi, yaitu penyerahan urusan pemerintahan di bidang energi oleh Pemerintah Pusat kepada daerah otonom berdasarkan Asas Otonomi. Mengacu pada ketentuan Pasal 1 angka 6 UU 23/2014, Otonomi Daerah menimbulkan hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahannya di bidang energi. Secara umum, ada dua macam Urusan Pemerintahan Urusan Pemerintahan Wajib yang harus dilaksanakan oleh semua Daerah dan Urusan Pemerintahan Opsional yang harus dilaksanakan oleh daerah sesuai dengan potensinya. 2 Sejauh mana Pemerintah Daerah bisa mengelola ruang lingkup kewenangan pengembangan pemanfaatan Energi Terbarukan di wilayahnya. Setidaknya, ada tiga cara untuk mendapatkan kewenangan. Cara pertama adalah Atribusi, yaitu pemberian wewenang kepada Instansi dan/atau Pejabat Pemerintah berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau Undang-Undang. Cara kedua adalah Delegasi yang berarti penyerahan wewenang dari Instansi dan/atau Pejabat Pemerintah yang lebih tinggi kepada Instansi dan/atau Pejabat Pemerintah yang lebih rendah. Dalam delegasi, semua tanggung jawab dan kewajiban sepenuhnya dialihkan kepada penerima. Cara ketiga adalah Mandat, yaitu pengalihan wewenang dari Instansi dan/atau Pejabat Pemerintah yang lebih tinggi kepada Instansi dan/atau Pejabat Pemerintah yang lebih rendah. Tak seperti cara sebelumnya, tanggung jawab dan kewajiban akan tetap diemban oleh pemberi mandat. 36 3 Kemampuan kepala daerah baik gubernur maupun bupati/walikota dalam memahami ruang lingkup kewenangannya dan mengimplementasikannya dalam bentuk konkrit yang sesuai dengan karakteristik daerahnya masing-masing. Perlu digarisbawahi bahwa yang dimaksud dengan ā€œPemerintah Daerahā€ adalah Kepala Pemerintahan Daerah sebagaimana tertulis dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah. Dengan kata lain, ā€œPemerintah Daerahā€ dalam konteks ini bukan Kepala Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DPD. Undang-undang sektor energi, seperti UU 30/2007 tentang Energi, secara khusus menunjuk Pemerintah Daerah. Oleh karena itu, Kepala Pemerintah Daerah memiliki peran yang signifikan. Selain itu, kepala daerah juga harus bisa menentukan metode pengembangan EBT yang sesuai dengan karakteristik daerahnya mengingat EBT merupakan sumber energi lokal. 4 Sejauh mana regulasi yang ada memberikan keleluasaan dalam menggunakan atau melaksanakan kewenangan pengembangan EBT. Fleksibilitas ini ditentukan oleh bagaimana norma itu dirancang, entah itu imperatif atau fakultatif. Norma-norma imperatif bersifat a priori mengikat dan harus ditegakkan. Sebaliknya, norma fakultatif tidak bersifat apriori mengikat karena sifatnya yang saling melengkapi, mendukung, atau dispositif. Dengan kata lain, norma imperatif harus dilakukan, sedangkan norma fakultatif memberikan pilihan untuk dijalankan atau tidak. Namun, saat norma fakultatif diterapkan, mereka akan bersifat mengikat. 5 Sejauh mana pemerintah daerah dapat mengambil keleluasaan untuk mempercepat pembangunan EBT. Dalam pasal 1 angka 9 UU 30/2014, Diskresi memiliki definisi berikut Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Pejabat Pemerintah untuk mengatasi masalah nyata yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan, terutama dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau terjadi stagnasi pemerintahan. Peraturan Pemerintah Daerah Subbagian ini akan mengelaborasi lebih jauh peran Pemerintah Daerah dalam pengembangan EBT, terutama yang berkaitan dengan sektor pembangkit listrik. Sektor Energi pada Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Lapangan Kerja yang kontroversial akhirnya diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245 pada tanggal 2 November 2020. Undang-Undang tersebut membawa perubahan signifikan dalam sistem hukum negara sebagai 37 akibat dari penggunaan teknik legislasi baru, yaitu Omnibus Law. Omnibus Law yang meliputi berbagai topik atau pokok bahasan memungkinkannya untuk menyimpang dari norma-norma lain yang dianggap bertentangan dengan tujuan Omnibus Law. Metode ini memungkinkan satu undang-undang baru memiliki kekuatan untuk merevisi berbagai undang-undang yang secara substansial saling terkait. Omnibus Law memang menjadi metode yang mudah dan sederhana karena pembuat kebijakan tidak perlu mengubah undang-undang satu per satu. Namun, poin fundamental lainnya, seperti kepastian hukum dan keadilan, bisa terdegradasi. UU Cipta Kerja mengamanatkan pemerintah daerah untuk menyediakan dana untuk empat target berikut 1 masyarakat miskin; 2 pembangunan fasilitas penyediaan tenaga listrik di daerah tertinggal; 3 pengembangan tenaga listrik di daerah terpencil dan perbatasan; dan 4 pembangunan listrik di wilayah pedesaan. Namun, amanat tersebut tidak didesain sebagai norma imperatif yang bersifat a priori mengikat dan wajib. Hal ini menyebabkan implementasinya akan sulit karena norma ini tidak secara eksplisit disebutkan sebagai norma yang wajib dilaksanakan. Oleh karena itu, tidak ada kewajiban bagi pemerintah daerah untuk melakukannya dan pengawasan implementasinya juga dianggap tidak perlu. UU Cipta Kerja juga mengubah RUU Pertambangan Mineral dan Batubara. Hal ini sangat dipertanyakan karena RUU tersebut telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 yang diundangkan pada 10 Juni 2020, kurang dari lima bulan sejak pengundangan Undang-Undang Penciptaan Lapangan Kerja yang jatuh pada tanggal 2 November 2020. Substansi amandemen RUU Pertambangan Mineral dan Batubara perlu diselidiki lebih lanjut karena dampaknya yang signifikan terhadap pengembangan EBT di Indonesia. Pemerintahan Daerah dan Amendemennya pada UU Cipta Kerja UU Cipta Kerja mengubah beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 UU Pemerintahan Daerah yang sebelumnya sudah diubah oleh Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah melalui ketentuan Pasal 176. Ketentuan dalam Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah yang relevan dengan pengembangan EBT di bidang ketenagalistrikan adalah Pasal 14 ayat 1 ā€œPenyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang kehutanan, kelautan, serta sumber daya energi dan mineral dibagi ke pemerintah pusat dan daerah provinsiā€. Urusan pemerintahan yang berkaitan dengan pengelolaan minyak dan gas bumi tidak termasuk karena mereka akan berada di bawah kendali penuh 38 Pemerintah Pusat. Norma pembagian urusan pemerintahan masih berlaku dan belum diamendemen oleh UU Cipta Kerja. Ketentuan Pasal 16 akan membuahkan hasil yang baik, terutama untuk EBT, jika semua pemangku kepentingan di tingkat pusat, tingkat daerah, dan Perusahaan Pembangkitan Independen Independent Power Producer/IPP terlibat dalam penyusunan peraturan. Penentuan tolok ukur tata kelola EBT secara internasional juga penting untuk dilakukan. Dengan demikian, konsep rasional dapat ditemukan dan diintegrasikan dengan prinsip-prinsip utama pengelolaan energi di Indonesia. Pengaturan Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria yang baik dapat digunakan untuk ā€œmengunciā€ dan mengoptimalkan peran Daerah karena Pasal 16 ayat 3 memposisikan peraturan tersebut sebagai aturan pelaksanaan bagi Pemerintah Daerah. Di sisi lain, jika regulasi tentang Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria tidak berkualitas, tidak jelas, ambigu/multitafsir, dan terlalu fleksibel, peran Pemerintah Daerah tidak akan optimal dan cenderung bergantung pada Pemerintah Pusat. UU Ketenagalistrikan UU Cipta Kerja membawa perubahan besar dalam tata kelola ketenagalistrikan karena menyebabkan diubahnya lebih dari separuh pasal dalam UU Ketenagalistrikan. Ada 32 pasal yang diubah, 2 pasal yang dihapus, dan 1 norma yang ditambahkan ke pasal baru. Semua pasal dalam UU Ketenagalistrikan yang secara eksplisit merujuk ke daerah telah diamendemen oleh UU Cipta Kerja sebagaimana telah diuraikan sebelumnya. Oleh karenanya, hal itu tidak perlu dijabarkan lebih lanjut dalam bagian ini. Namun, ada satu ketentuan dalam UU Ketenagalistrikan yang mendukung EBT, yaitu Pasal 6 ayat 2. Ketentuan ini menekankan prioritas penggunaan sumber energi primer yang berasal dari sumber energi baru dan energi terbarukan untuk menjamin pasokan listrik yang berkelanjutan. UU Energi Undang-undang a quo telah menetapkan kedudukan Pemerintah Daerah sebagai bagian dari penyelenggara penyediaan energi melalui ketentuan Pasal 20 ayat 2. Selain itu, UU Energi juga menetapkan bahwa penyediaan energi diprioritaskan di daerah tertinggal, terpencil dan pedesaan dengan menggunakan sumber energi lokal, khususnya EBT. Keberpihakan terhadap penggunaan EBT ditegaskan pada ayat 4 yang menyatakan bahwa penyediaan EBT wajib ditingkatkan oleh pemerintah daerah sesuai dengan kewenangan daerah masing-masing. Ada tantangan sekaligus peluang yang ditawarkan kedua norma di atas. Tantangannya adalah mengatur ketentuan pasal 2 agar EBT tidak dipandang 39 sebagai ā€œenergi marginalā€ yang hanya dikembangkan di daerah tertinggal, terpencil, dan pedesaan. Jika pendekatan tersebut digunakan, target 23% EBT dalam bauran energi nasional pada tahun 2025 akan sulit tercapai. Penyebabnya adalah cakupan wilayah yang kecil pasti akan membatasi kapasitas EBT yang dapat dikembangkan. Di sisi lain, dengan pengelolaan yang baik, kedua norma tersebut dapat menjadi peluang karena dapat dijadikan landasan hukum untuk mengelola sekaligus mewajibkan partisipasi dan potensi 34 provinsi, 415 kabupaten, 1 kabupaten administrasi, 93 kota, dan 5 kota administratif di Indonesia. Banyaknya daerah dan potensi yang dimiliki memungkinkan tercapainya target bauran energi jika pengelolaan berjalan baik melalui pendekatan yang taktis dan konkrit. Pasal 20 ditindaklanjuti oleh Pasal 26 yang membagi kewenangan di bidang energi kepada pemerintah pusat dan daerah. Ketentuan pada ayat 2 menentukan bahwa kewenangan pemerintah provinsi meliputi 1. membuat peraturan di tingkat provinsi; 2. membina dan pengawasan pemanfaatan lintas kabupaten/kota; dan 3. menetapkan kebijakan pengelolaan lintas kabupaten/kota. Ayat 3 mengatur bahwa kewenangan pemerintah kabupaten/kota meliputi 1. membuat peraturan daerah di tingkat kabupaten/kota; 2. membina dan mengawasi pemanfaatan di kabupaten/kota; dan 3. menetapkan kebijakan pengelolaan di kabupaten/kota. Sebelumnya, norma hukum dapat dikelola dan diarahkan untuk meningkatkan peran daerah dalam percepatan pemanfaatan EBT. Namun, hal ini berubah sejak UU Cipta Kerja berlaku. Ayat 4 tersebut mengatur bahwa kewenangan pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, pelaksanaan dan aktualisasi kewenangan tersebut harus sejalan dengan koridor norma UU Cipta Kerja. Ketentuan yang paling relevan dengan EBT adalah ketentuan tentang amendemen UU Ketenagalistrikan. UU Cipta Kerja yang banyak memberikan kewenangan kepada Pemerintah Pusat, terutama dalam hal perizinan, berdampak negatif dan positif. Undang-undang a quo akan berdampak positif jika dikelola sedemikian rupa sehingga memangkas perizinan dan birokrasi yang pada akhirnya akan menarik investor. Di sisi lain, pemotongan kewenangan perizinan yang dimiliki oleh daerah tentu akan mengurangi kemampuan daerah dalam mewujudkan program dan kebijakannya. Contohnya adalah kebijakan percepatan EBT di daerah yang peluang berhasilnya akan lebih besar jika dirancang sebagai kewajiban dan harus dilaksanakan oleh pihak-pihak yang berkepentingan di daerah. Dalam konteks tersebut, pemanfaatan EBT dapat diintegrasikan sebagai satu kesatuan dengan pemberian izin yang 40 menjadi kewenangan Daerah. Namun, cara tersebut tidak berlaku lagi karena urusan perizinan telah menjadi wewenang Pemerintah Pusat sepenuhnya dan masuk ke dalam skema besar Perizinan Berusaha. Berdasarkan norma di atas, peran daerah yang tersisa dan dapat dikelola untuk mempercepat pembangunan EBT, khususnya untuk pembangkit listrik, antara lain 1. Membuat Peraturan Daerah untuk mendirikan Badan Usaha Milik Daerah atau melakukan penyertaan modal pada Badan Usaha Milik Daerah yang Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangganya terbuka untuk melakukan pemanfaatan EBT atau pembangkit listrik hibrida. 2. Membuat Peraturan Daerah yang membuka peluang kerjasama, misalnya dalam bentuk pemanfaatan tanah milik Daerah untuk EBT atau pembangkit listrik hibrida. 3. Menyusun Peraturan Daerah tentang pemberian insentif berupa pengurangan pajak daerah dan retribusi daerah untuk Perusahaan Pembangkitan Independen Independent Power Producer/IPP ET dan Hibrida. UU Energi juga mengatur seberapa besar pemerintah daerah berperan dalam pengembangan EBT melalui kegiatan litbang. Pasal 29 ayat 1 mewajibkan pemerintah daerah memfasilitasi penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk penyediaan dan pemanfaatan energi. Bahkan, ketentuan di ayat 2 secara gamblang menyatakan bahwa litbang diarahkan terutama untuk pengembangan EBT. Yang dimaksud dengan memfasilitasi adalah menyediakan dana yang dialokasikan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, semagaimana diatur dalam Pasal 30 ayat 1 dan 2. Dengan kata lain, setiap tahun pemerintah daerah dan DPRD harus menganggarkan alokasi wajib untuk pendanaan litbang EBT dalam APBD. Norma tersebut seharusnya menjadi salah satu solusi bagi pengembangan EBT, tetapi sayangnya norma tersebut tidak diikuti dengan penetapan sanksi bagi daerah yang tidak melaksanakan kewajiban pendanaannya. Selain itu, ayat 4 dari pasal a quo juga memerintahkan pembentukan Peraturan Pemerintah menjadi peraturan operasional yang mengatur lebih lanjut tentang pendanaan. Namun, hingga saat ini, perintah tersebut belum dilaksanakan. Pengelolaan Peran Pemerintah Daerah dalam Peraturan Pemerintah tentang Kebijakan Energi Nasional Setelah diberlakukannya UU Cipta Kerja, posisi Peraturan Pemerintah tentang Kebijakan Energi Nasional menjadi cukup menarik. Peraturan Pemerintah a quo merupakan peraturan pelaksana UU Energi sebagaimana tercantum di bagian yang tidak terdampak UU Cipta Kerja, yakni bagian pembukaan sampai dengan huruf a UU Energi. Peraturan Pemerintah yang harus disesuaikan dengan 41 UU Cipta Lapangan Kerja dalam jangka waktu paling lama 3 bulan terhitung sejak tanggal diundangkan adalah semua Peraturan Pemerintah yang berkedudukan sebagai peraturan pelaksana Undang-Undang yang telah diamendemen oleh Undang-Undang a quo, sebagaimana diperintahkan oleh Pasal 185 poin b. Meskipun telah melewati Pasal a quo, keberadaan Kebijakan Energi Nasional tidak dapat dipisahkan dari Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja. Hal ini disebabkan oleh ketentuan Pasal 181 ayat 1 yang memerintahkan bahwa setiap peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang yang berlaku dan bertentangan dengan ketentuan UU Cipta Lapangan Kerja harus dilakukan harmonisasi dan sinkronasi. Upaya ini berada dalam domain Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang mendapatkan atribusi undang-undang untuk bertindak sebagai koordinator. Sementara itu, tidak ada analisis pasti mengenai harmonisasi dan sinkronisasi karena Pasal 181 ayat 3 menyebutkan bahwa kedua upaya tersebut diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah yang sampai saat ini belum ada. Dalam Kebijakan Energi Nasional, ada sebuah ketentuan yang menarik yaitu Pasal 21 ayat 1. Ketentuan ini justru merekomendasikan Pemerintah Daerah untuk ikut memberikan subsidi bagi EBT apabila salah terjadi satu atau dua kondisi berikut 1. Harga EBT lebih mahal daripada harga energi dari bahan bakar minyak yang tidak bersubsidi; dan/atau 2. Penerapan Ekonomi Adil tidak dapat dilaksanakan. Peraturan Pemerintah tentang Kebijakan Energi Nasional memberikan porsi kepada Pemerintah Daerah untuk menggarap perekonomian EBT sehingga tak kalah saing dengan energi fosil yang sudah mapan. Pasal 22 mengatakan bahwa pemerintah daerah memberikan insentif fiskal dan nonfiskal untuk mendorong pengembangan, pemanfaatan, dan pendayagunaan EBT, terutama bagi upaya skala kecil di daerah terpencil. Insentif tidak diberikan untuk jangka waktu yang tidak ditentukan karena ayat 2 memberi batasan yang sangat ketat. Batasan ini baru akan dilonggarkan jika nilai ekonomi EBT mampu bersaing dengan energi konvensional. Percepatan Pencapaian Target 23% Bauran Energi melalui Pembangunan Pembangkit Hybrid dan Pembangkit EBT secara Paralel Pengelolaan pemanfaatan sumber energi sebagai penunjang kemampuan ketenagalistrikan nasional tidak dapat berdiri sendiri sebagai kebijakan tunggal. Hal ini dikarenakan pengelolaan pemanfaatan sumber energi melibatkan kewenangan dan pencapaian target lintas sektor. Kebijakan pembangkit listrik memang diketuai oleh Kementerian ESDM, tetapi dalam konteks konversi ke EBT, diperlukan dukungan dari sektor terkait yang memiliki target relevan untuk 42 Program pembangunan pembangkit listrik hibrida yang memanfaatkan energi fosil dan EBT telah diamanatkan sejak 14 tahun lalu, tepatnya melalui UU No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025 UU RPJPN 2005-2025. Undang-undang ini penting karena memuat RPJPN yang merupakan dokumen perencanaan pembangunan nasional dan kristalisasi tujuan pembentukan negara untuk periode 20 tahun, yakni dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2025. Pasal 2 ayat 1 dari UU ini berbunyi, ā€œProgram Pembangunan Nasional periode 2005-2025 dilaksanakan sesuai dengan RPJP Nasionalā€. RPJPN berfungsi sebagai arah sekaligus acuan bagi seluruh komponen bangsa, baik pemerintah maupun dunia usaha, dalam mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional. RPJPN memastikan agar arah pembangunan menjadi sesuatu yang disepakati bersama sehingga semua usaha pembangunan bersinergi, koordinatif, dan saling melengkapi. Namun, undang-undang a quo lebih menitikberatkan pada pengendalian pengurangan konsumsi energi fosil dari minyak bumi untuk pembangkit listrik dengan meningkatkan pemakaian gas, batu bara, dan EBT, seperti biogas, biomassa, panas bumi geothermal, energi matahari, arus laut, dan tenaga angin. Artinya, dalam rencana besar pemerintah yang telah ditetapkan secara tegas tersebut, pengurangan konsumsi hanya dilakukan untuk minyak bumi dan bukan energi fosil pada umumnya. Pemerintah pada saat itu bermaksud untuk fokus pada diversifikasi atau diversifikasi penggunaan sumber energi sebagai pendekatan yang dipilih untuk mengendalikan laju konsumsi minyak bumi. Program pengembangan pembangkit listrik hibrida juga dapat dilihat sebagai kebutuhan untuk mengatasi ancaman perubahan iklim akibat kenaikan suhu bumi. Dasar hukum acuannya adalah UU 16/2016 tentang Pengesahan Paris Agreement to The United Nations Framework Convention on Climate Change Persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim. Perjanjian yang bersifat mengikat secara hukum ini bertujuan untuk menahan kenaikan suhu rata-rata global >> Full paper access viable hydrogen infrastructure is one of the main challenges for fuel cells in mobile applications. Several studies have investigated the most cost-efficient hydrogen supply chain structure, with a focus on hydrogen transportation. However, supply chain models based on hydrogen produced by electrolysis require additional seasonal hydrogen storage capacity to close the gap between fluctuation in renewable generation from surplus electricity and fuelling station demand. To address this issue, we developed a model that draws on and extends approaches in the literature with respect to long-term storage. Thus, we analyse Liquid Organic Hydrogen Carriers LOHC and show their potential impact on future hydrogen mobility. We demonstrate that LOHC-based pathways are highly promising especially for smaller-scale hydrogen demand and if storage in salt caverns remains uncompetitive, but emit more greenhouse gases GHG than other gaseous or hydrogen ones. Liquid hydrogen as a seasonal storage medium offers no advantage compared to LOHC or cavern storage since lower electricity prices for flexible operation cannot balance the investment costs of liquefaction plants. A well-to-wheel analysis indicates that all investigated pathways have less than 30% GHG-emissions compared to conventional fossil fuel pathways within a European rapid growth in the usage and development of renewable energy sources in the present day electrical grid mandates the exploitation of energy storage technologies to eradicate the dissimilarities of intermittent power. The energy storage technologies provide support by stabilizing the power production and energy demand. This is achieved by storing excessive or unused energy and supplying to the grid or customers whenever it is required. Further, in future electric grid, energy storage systems can be treated as the main electricity sources. Researchers and industrial experts have worked on various energy storage technologies by integrating different renewable energy resources into energy storage systems. Due to the wide range of developments in energy storage technologies, in this article, authors have considered various types of energy storage technologies, namely battery, thermochemical, thermal, pumped energy storage, compressed air, hydrogen, chemical, magnetic energy storage, and a few others. These energy storage technologies were critically reviewed; categorized and comparative studies have been performed to understand each energy storage system's features, limitations, and advantages. Further, different energy storage system frameworks have been suggested based on its application. Therefore, this paper acts as a guide to the new researchers who work in energy storage technologies. The future scope suggests that researchers shall develop innovative energy storage systems to face challenges in power system networks, to maintain reliability and power quality, as well as to meet the energy intermittent nature of renewable resources requires for most applications the development of efficient and cost-effective technologies for steady supply of electrical energy. The storage of energy in the form of hydrogen chemically bound within organic molecules rather than physically as compressed gas or cooled liquid represents an alternative approach that is attracting great research interest. Compared to other liquid organic hydrogen carriers LOHCs, dimethyl ether DME appears to have the largest potential impact on society, especially if inserted in technological chains of CO2 sequestration and utilization, so to determine an effective mitigation of environmental issues, without any net effect on the carbon footprint. Specifically, the steps of H2 storage and H2 release can take place in two coupled chemical processes, constituted by the exothermic synthesis of DME via CO2 hydrogenation and the endothermic steam reforming of DME, respectively. Herein, the latest advances in the development of heterogeneous bifunctional and hybrid catalysts for the direct hydrogenation of CO2 to DME are thoroughly reviewed, with special emphasis on thermodynamics, catalyst design and process feasibility. Despite many aspects behind the mechanism of DME synthesis from H2-CO2 streams are still to be uncovered, the recent progress in the research on H2 release by DME steam reforming is increasing the interest for effectively closing this binary H2 loop, in view of future green deals and sustainable research study observes the impact of penetration and calculates the maximum penetration of variable renewable energy VRE power plants in the Javaā€“Bali power grid for the 2019ā€“2023 period, especially for solar power plants. Solar power plant penetration mapping for the Javaā€“Bali grid in to some area must also be carried out, due to the existing system's limited technical capabilities. Variables used to determine VRE's maximum penetration are properties of thermal generating units, such as ramping capability, technical minimum load, and primary energy conversion mechanism. Net load profile aggregation between VRE and existing thermal generating units is used to analyze the degree of VRE penetration. Then, the aggregate system ramping capability and system technical minimum load are evaluated. The results show that VRE penetration at a capacity of 5,000 MWp increases the grid's ramping requirement. In 2023, the maximum allowable penetration of VRE's capacity in the Javaā€“Bali system is with a total installed capacity of 6,447 MWp for solar power plants and a peak load of 36,669 MW. The strongest penetration is in the Paitonā€“Grati subsystem, with a total installed capacity of 711 ever increasing rate of energy consumption, limited fossil fuels and pollution have made the expansion of renewable resources essential. Due to the suitable solar potential available in Iran, the use of solar energy has been developed more than other renewable resources. In this paper, photovoltaic PV panels are hybridized with battery banks and the power grid to provide electricity for 100 residential units and by performing a techno-economic-environmental analysis on the use of different solar tracking systems PV power generation is maximized. The final aim of this paper is to find the optimum scenario for reaching the highest efficiency along with emissions that are within the standard range. Also, the effect of grid sell back on the results is estimated and a sensitivity analysis is performed to generalize the results for other economic and climate conditions. Results show that the use of the solar tracking system significantly reduces the number of needed panels, but this size reduction is not always cost-effective due to the high cost of tracking units. The vertical tracking system indicated the best cost-efficiency with $/kWh cost of energy and an average of 23% improvement on the output power. Although the dual-axis tracker improved power production by 32%, it was less cost-efficient. Sensitivity analysis indicated that with 33% renewable fraction and slightly different initial costs, the optimum cost of energy will vary from to $/ risks in supply chain management have a great negative influence on the performance of supply chain members. Therefore, the field of supply chain disruption SCD has received increasing attention on mitigating the risks and improving the supply chain performance. This paper presents a comprehensive bibliometric overview and visualisation of the field of SCD based on 1,310 publications derived from the core collection of the Web of Science. The influential authors, organisations, and SCD keywords are discussed in detail based on some visualisation tools. Then, the leading publications and main clusters of SCD are identified to find out the key research topics based on citation analysis and reference co-citation analysis. The paper will be a helpful resource for researchers and practitioners who are interested in the field of SCD to capture the current research hotspots and potential research directions.
fceIm.
  • 5x54sknx8o.pages.dev/61
  • 5x54sknx8o.pages.dev/336
  • 5x54sknx8o.pages.dev/284
  • 5x54sknx8o.pages.dev/35
  • 5x54sknx8o.pages.dev/247
  • 5x54sknx8o.pages.dev/164
  • 5x54sknx8o.pages.dev/456
  • 5x54sknx8o.pages.dev/36
  • potensi usaha sistem teknik di daerah